Bismillah…
Ada seorang pemuda yang berkenalan dengan seorang gadis lewat dunia maya. Ia mengikat hati gadis itu dengan janji akan menikahinya, namun kemudian ia berpaling. Gadis itu pun putus asa dan mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis. Lalu muncul pertanyaan: apakah pemuda itu ikut menanggung dosa atas kematian si gadis?
Dalam ketentuan syariat, pembunuhan bisa terjadi dengan dua jalan: secara langsung (mubāsyarah) atau dengan sebab yang kuat (tasabbub).
Al-Mutasabbib adalah: “Seseorang yang menimbulkan suatu sebab yang secara kebiasaan dapat mengakibatkan kerusakan pada sesuatu, namun kerusakan itu tidak langsung terjadi darinya, melainkan melalui perantara lain, yaitu perbuatan pihak yang berkehendak bebas.” (selesai, dari al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah az-Zuhaili, jilid 7, hlm. 5646)
Adapun apa yang dilakukan oleh pemuda ini tidak bisa disebut sebagai tasabbub (sebab). Sebab, berpalingnya ia dari menikahi gadis tersebut bukanlah hal yang secara umum dapat menimbulkan gadis itu bunuh diri.
Dengan demikian, pemuda ini tidak bisa dianggap bertanggung jawab atas tindakan bunuh diri gadis tersebut.
Karena yang melakukan bunuh diri adalah gadis itu sendiri, maka ia yang menanggung dosa perbuatannya.
Adapun dari sisi tasabbub apakah sikapnya bisa dianggap penyebab?
Maka jawabannya: tidak.
Karena secara umum, meninggalkan rencana pernikahan tidaklah menjadi sebab langsung seseorang bunuh diri. Maka, ia tidak memikul dosa kematian si gadis.
Namun, apakah ia terbebas sama sekali?
Tidak. Justru di sinilah kita mesti jujur kepada diri sendiri. Pemuda itu telah menzalimi gadis tersebut dalam dua hal yang amat besar:
-
Ia menjerumuskannya ke dalam hubungan yang terlarang.
Ia membiarkan dirinya larut dalam komunikasi yang tidak halal, lalu menyeret gadis itu ke dalam jerat yang sama. Ia ikut menguatkan langkahnya dalam maksiat. Padahal Allah sudah mengingatkan:
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ
“Jika engkau digoda setan dengan suatu godaan, maka berlindunglah kepada Allah.” (QS. al-A‘raf: 200)
Setan memang selalu mengintai, menunggu celah kelemahan kita. Orang yang bertakwa, bila terjatuh, segera tersadar dan kembali. Tetapi siapa yang lengah, akan ditarik setan semakin dalam, tanpa pernah berhenti.
-
Ia berjanji lalu mengingkarinya.
Kalau sejak awal niatnya tidak sungguh-sungguh, melainkan hanya ingin menyenangkan hati gadis itu agar tetap bertahan dalam hubungan, maka ia telah menggabungkan beberapa akhlak tercela: berbohong, menipu, mempermainkan, lalu mengkhianati janji.
Rasulullah ﷺ bersabda:
آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik ada tiga: bila berbicara ia berdusta, bila berjanji ia ingkari, bila dipercaya ia khianat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah buah pahit dari sebuah hubungan yang dibangun di atas sesuatu yang haram. Apa yang dimulai dengan permainan, berakhir dengan tangisan dan penyesalan. Allah telah mengingatkan bahwa persahabatan yang tidak dibangun di atas ketakwaan, kelak akan berubah menjadi permusuhan:
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Pada hari itu, teman-teman akrab akan saling bermusuhan, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zukhruf: 67)
Maka, sekalipun pemuda itu tidak dihukumi sebagai pembunuh, tetap saja ia menanggung dosa besar dari kebohongan, pengkhianatan, dan tipu daya yang ia lakukan.
Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Bertobat dengan sebenar-benarnya tobat. Menutup lembaran lama yang penuh kelalaian. Memohon ampunan Allah dan memulai hidup baru dengan kesungguhan, kejujuran, dan istiqamah. Jangan ulangi permainan hati yang hanya berujung pada kehancuran.
Inilah jalan keselamatan: kembali kepada Allah dengan hati yang bersih, dan tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama.
Wallahu a‘lam.
Ditulis oleh: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com