Kedudukan Cinta (Mahabbah) dalam Pandangan Ibnul Qayyim
Bismillah…
Pentingnya Kedudulan Cinta (Mahabbah) dan Nilainya
Menurut Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, kedudukan cinta (mahabbah) adalah kedudukan yang paling mulia yang menjadi ajang perlombaan bagi orang-orang yang berlomba, tujuan utama para ahli ibadah, dan puncak dari ambisi kaum yang bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada Allah.
Beliau menyatakan bahwa cinta adalah penyejuk hati, nutrisi bagi jiwa, penyegar pandangan, sumber kehidupan yang hakiki. Barangsiapa tidak memilikinya, maka ia seperti golongan orang mati. Cinta adalah cahaya bagi yang kehilangan petunjuk, obat bagi segala penyakit hati, serta kenikmatan hakiki yang jika seseorang kehilangannya, kehidupannya akan dipenuhi dengan keresahan dan derita.
Beliau bahkan menyebutkan,
“Andai hilang persoalan cinta dari kehidupan, maka lenyaplah semua kedudukan iman dan ihsan, serta terputuslah hubungan manusia dengan Rabb-nya. Tanpa cinta, amal perbuatan ibarat jasad tanpa ruh. Bahkan hakikat tauhid itu adalah cinta. Sebab, tidak ada ketundukan kepada Allah tanpa kecintaan kepada-Nya.” (Madarijus Sālikīn 2/7-8)
Imam Ibnul Qayyim menambahkan, “Cinta kepada Allah adalah pokok kebahagiaan dan inti dari semua kebaikan. Tidak akan selamat dari adzab kecuali dengan cinta kepada-Nya. Al-Qur’an pun senantiasa mengarahkan kepada cinta dan segala konsekuensinya.” (Madarijus Sālikīn 2/7-8)
Ini sesuai dengan hadits Nabi ﷺ dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
ثلاثٌ مَنْ كُنَّ فيه وجَدَ حلاوَةَ الإيمانِ: أنْ يكونَ اللهُ ورسولُهُ أحبَّ إليه مِمَّا سِواهُما، وأنْ يُحِبَّ المرْءَ لا يُحبُّهُ إلَّا للهِ، وأنْ يَكْرَهَ أنْ يَعودَ في الكُفرِ بعدَ إذْ أنقذَهُ اللهُ مِنْهُ؛ كَما يَكرَهُ أنْ يُلْقى في النارِ
“Tiga perkara yang apabila dimiliki seseorang, ia akan merasakan manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya, ia mencintai seseorang hanya karena Allah, dan ia membenci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam api.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Ibnul Qayyim membagi cinta ke dalam dua jenis utama:
1. Cinta yang Bermanfaat (mahabbah nafi’ah)
Yaitu cinta yang menjadi inti dari tauhid dan keimanan. Cinta jenis ini terbagi menjadi tiga:
a. Cinta kepada Allah.
b. Cinta karena Allah.
c. Cinta yang membantu seseorang menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
2. Cinta yang Berbahaya (mahabbah dharrah)
Yaitu cinta yang menjadi pokok kesyirikan. Cinta ini juga terbagi menjadi tiga:
a. Mencintai sesuatu selain Allah dengan kecintaan yang menyamai cinta kepada Allah (syirik dalam cinta).
b. Mencintai sesuatu yang dibenci Allah (maksiat dan dosa).
c. Cinta yang memalingkan hati seseorang dari cinta kepada Allah atau menguranginya.
Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa semua jenis cinta yang ada pada manusia tidak lepas dari keenam kategori ini. Cinta yang bermanfaat akan mengantarkan kepada keridhaan Allah, sementara cinta yang berbahaya akan menjauhkan hamba dari-Nya.
Konsekuensi dan Tanda-tanda Cinta yang Hakiki kepada Allah
Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa cinta kepada Allah bukan sekedar ucapan atau pengakuan lisan semata, melainkan cinta yang hakiki yang mempunyai konsekuensi nyata dan tanda-tanda yang jujur. Beberapa tanda cinta sejati kepada Allah, antara lain:
1. Mengesakan Allah dalam ibadah dan kecintaan kepada-Nya
Orang yang mencintai Allah secara tulus tidak akan menyekutukan-Nya dalam cinta. Jika seseorang mencintai sesuatu sebagaimana ia mencintai Allah, maka itu adalah bentuk dusta dalam cintanya kepada Allah. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 165:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan di antara manusia ada yang menjadikan tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.”
2. Mencintai apa yang Allah cintai dan membenci apa yang Allah benci
Cinta kepada Allah menuntut seseorang untuk mencintai segala sesuatu yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, serta membenci segala sesuatu yang dibenci oleh-Nya.
3. Menjadikan Rasulullah ﷺ lebih dicintai dari diri sendiri dan segala sesuatu
Ini merupakan syarat kesempurnaan iman, sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih:
لا يُؤْمِنُ أحدُكم حتى أكونَ أحبَّ إليه من ولدِهِ ، ووالدِهِ ، والناسِ أجمعينَ
“Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari)
Oleh karena itu, cinta yang hakiki kepada Allah memiliki tanda-tanda jelas yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari seorang hamba. Setiap muslim hendaknya merenungkan kadar cintanya kepada Allah dengan memperhatikan sejauh mana ia memenuhi konsekuensi cinta tersebut, agar mencapai cinta sejati yang mengantarkan kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Referensi:
As-Suluk ma’alllah ‘Indabni Qayyim Al-Jauziyyah. Karya Prof. Dr. Mufrih bin Sulaiman Al-Qusiy
Ditulis oleh: Ahmad Anshori, Lc,. M.Pd.
Artikel: Remajaislam.com