Bismillah…
Layaknya wanita yang tidak haid atau sedang suci, seorang wanita yang mengalami keluarnya darah istihadhoh (mustahadhoh) tetap diwajibkan segala ibadah yang wajib bagi orang yang suci; seperti shalat dan puasa. Namun, dalam pelaksanaan shalat, wanita mustahadhoh mendapatkan keringanan dalam melakukan shalat-salat wajib.
Setelah ia bersuci untuk setiap shalat wajib (tidak menjadikan satu wudhu untuk lebih dari satu shalat fardu), lalu membersihkan kemaluan dan memakai pembalut, ia bisa melakukan shalat wajib dengan 3 cara berikut ini:
(1) Shalat wajib secara ideal, seperti umumnya kaum muslimin.
Maka ia harus berwudhu, membersihkan kemluan, badan dan pakaian yang terkena darah, lalu memakai pembalut setiap kali akan melakukan sebuah shalat wajib. Jika darah tetap keluar setelah melakukan tiga tahapan thaharah tersebut, maka tidak membatalkan keabsahan wuhdu dan shalatnya. Wudhunya akan batal bila telah keluar dari waktu shalat wajib yang ia berwudhu dalam waktu tersebut, atau di saat terjadi padanya pembatal thaharah selain keluarnya darah, seperti kentut.
(2) Jamak Shuri.
Jamak Shuri bisa dipahami sebagai jamak formalitas. Yaitu seakan-akan menjamak shalat padahal tidak. Caranya adalah, mengakhirkan pelaksanaan shalat sebelumnya di akhir waktu, lalu melakukan shalat setelahya di awal waktu. Cara ini bisa dilakukan pada shalat-shalat yang memang bisa dijamak, yaitu duhur dengan ashar, dan maghrib dengan isya. Contohnya, Ibu Sarmintul mengalami istihadoh yang berkelanjutan di hari-hari ini. Saat tiba waktu maghrib, ia akhirkan pelaksanaannya hingga di ujung waktu, sekitar 10 menit menjelang isya, begitu masuk waktu isya, ia langsung shalat isya di awal waktu, dengan satu wudhu yang ia gunakan untuk shalat maghrib yang baru saja dikerjakan, demikian juga tidak perlu mengganti pembalut dan mengulang membersihkan kemaluan.
Dalil bahwa wanita mustahadhoh boleh melakukan shalat fardu dengan cara menjamak shuri adalah hadis dari shahabiyyah Himnah bintu Jahsy -radhiyallahu’anha-, Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- pernah bersabda kepada beliau:
فَإِنْ قَوِيتِ عَلَى أَنْ تُؤَخِّرِيَ الظُّهْرَ وَتُعَجِّلِيَ الْعَصْرَ، فَتَغْتَسِلِينَ وَتَجْمَعِينَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ، وَتُؤَخِّرِينَ الْمَغْرِبَ وَتُعَجِّلِينَ الْعِشَاءَ، فَتَغْتَسِلِينَ وَتَجْمَعِينَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ، فَافْعَلِي
“Jika kamu mampu untuk menunda salat Zuhur dan mempercepat salat Asar, kemudian kamu mandi dan menggabungkan kedua salat tersebut, dan menunda salat Maghrib serta mempercepat salat Isya, kemudian kamu mandi dan menggabungkan kedua salat tersebut, maka lakukanlah.” (HR. Ashab As-Sunan kecuali An-Nasai, dinilai hasan oleh Al-Albani)
(3) Menjamak shalat.
Yaitu melakukan jamak sebagaimana yang kita pahami, baik jamak taqdim (diwalkan) maupun jamak takkhir (diakhirkan), pada empat shalat yang bisa dijamak, yaitu dhuhur dan asar, maghrib dan isya. Shalat ashar dilakukan pada waktu shalat duhur, ini jamak taqdim, shalat maghrib dilakukan pada waktu shalat isya, inilah jamak takkhir. Karena mustahadhoh mengalami sakit, dan keadaan sakit salahsatu keadaan yang membolehkan melakukan jamak shalat.
Dalil yang menunjukkan bolehnya menjamak sholat bagi orang sakit adalah, hadis dari sahabat Abdullah bin Abbas –radhiyallahu’anhu– :
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ قَالَ (أَبُوْ كُرَيْبٍ) قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjama’ sholat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ di kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan.
Abu Kuraib berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Abas radhiallahu ‘anhuma: Mengapa beliau berbuat demikian?”
Beliau radhiallahu ‘anhuma menjawab, “Agar tidak menyusahkan umatnya.”
(HR Muslim no. 705)
Dalam riwayat lain disebutkan:
من غير خوف ولا سفر
“Bukan karena kondisi takut ataupun safar.”
Dalam Enskopedia Fikih diterangkan,
وقد أجمعوا على أنّ الجمع لا يكون إلاّ لعذر فيجمع للمرض وقد ثبت « أنّ النّبيّ صلى الله عليه وسلم أمر سهلة بنت سهيل وحمنة بنت جحش رضي الله عنهما لمّا كانتا مستحاضتين بتأخير الظّهر وتعجيل العصر والجمع بينهما بغسل واحد، ثمّ إنّ هؤلاء الفقهاء قاسوا المرض على السّفر بجامع المشقّة فقالوا : إنّ المشقّة على المريض في إفراد الصّلوات أشدّ منها على المسافر
Para ulama Mazhab Maliki dan Hambali sepakat, bahwa menjamak sholat tidak boleh dilakukan kecuali jika ada uzur. Sehingga orang yang sakit boleh menjamak.
Terdapat keterangan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah memerintahkan Jahs radhiyallahu’anha (sohabiyyah), ketika beliau mengalami istihadoh (keluarnya darah penyakit), untuk mengakhirkan sholat dhuhur dan menyegerakan asar, lalu menjamak kedua sholat itu dengan satu kali mandi.
Kemudian para ahli fikih tersebut menqiyaskan sakit dengan safar, karena sama-sama kondisi yang memberatkan (masyaqqoh). Mereka menyatakan : Masyaqqoh pada orang yang sakit dalam mengerjakan sholat secara normal pada waktunya, lebih berat daripada yang dialami musafir. (Mausu’ah Al fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah).
Wallahua’lam bis shawab.
Referensi:
Al-Qohtoni, Sa’id bin Ali bin Wahb (1416H). Thuhur Al-Muslim fi Dhouil Kitab was Sunnah. Silsilah Ushul Al-Islam 2(1).
Ministry of Awqaf and Islamic Affairs. (2007). الموسوعة الكويتية (Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyyah). Kuwait: Ministry of Awqaf and Islamic Affairs.
Penulis: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com