Setiap agama mungkin memiliki tanda dan ciri khasnya sendiri. Tidak diragukan bahwa dalam Islam ada berbagai kewajiban ibadah khusus yang harus ditaati oleh kaum muslimin. Namun, ada juga nilai-nilai moral yang bersifat universal, yang tidak terbatas hanya pada kaum Muslim saja.
Islam tidak mengajarkan bahwa kebaikan dan keadilan hanya diperuntukkan bagi sesama Muslim. Sebaliknya, seorang Muslim diperintahkan untuk bersikap adil, jujur, setia, dermawan, dan memiliki akhlak mulia dalam berinteraksi dengan siapa pun, termasuk non-Muslim.
Al-Qur’an tidak membatasi nilai-nilai moral hanya untuk kalangan Muslim, Yahudi, atau Nasrani dalam perkara yang bersifat khusus dalam agama. Bahkan, Allah menegaskan dalam firman-Nya:
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ إِلَّا بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ إِلَّا ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ مِنْهُمْ ۖ وَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا بِٱلَّذِىٓ أُنزِلَ إِلَيْنَا وَأُنزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَٰهُنَا وَإِلَٰهُكُمْ وَٰحِدٌۭ وَنَحْنُ لَهُۥ مُسْلِمُونَ
“Janganlah kalian berdebat dengan Ahli Kitab, kecuali dengan cara yang lebih baik, kecuali terhadap orang-orang yang zalim di antara mereka. Dan katakanlah: ‘Kami beriman kepada (kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kalian; Tuhan kami dan Tuhan kalian adalah satu, dan kami berserah diri kepada-Nya’.” (QS. Al-Ankabut: 46)
Begitu pula ketika pengikut Musa dan Isa mengadukan perselisihan mereka kepada kaum Muslim, Allah berfirman dalam Surah Al-Hajj:
قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِٱلْحَقِّ وَهُوَ ٱلْفَتَّاحُ ٱلْعَلِيمُ
“Katakanlah: ‘Allah akan menghakimi di antara kita pada Hari Kiamat. Dialah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana’.” (QS. Al-Hajj: 69)
Suatu ketika, seorang Yahudi datang kepada Rasulullah ﷺ untuk menuntut haknya. Ia meminta sesuatu kepada Nabi dengan sikap yang kurang sopan. Umar bin Khattab yang melihat kejadian itu hampir marah dan hendak menegurnya. Namun, Rasulullah ﷺ justru menenangkan Umar dan berkata:
اسْكُتْ يَا عُمَرُ! أَنَا وَهُوَ كُنَّا أَحَقَّ بِمَا هُوَ مِنْكَ، أَمُرْتُ بِحُسْنِ الْأَدَاءِ، وَأَمُرْتُ بِحُسْنِ الطَّلَبِ
“Biarkan dia, wahai Umar! Sesungguhnya aku lebih pantas untuk memenuhi haknya. Berikan haknya dengan baik dan ajarkan dia untuk meminta dengan cara yang lebih sopan.”
Islam memang menegakkan keadilan, tidak peduli dengan siapa pun, baik terhadap orang saleh maupun pendosa, Muslim ataupun non-Muslim.
Pada halaman berikutnya, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ مُسْتَجَابَةٌ، وَإِنْ كَانَ فَاجِرًا، فَفُجُورُهُ عَلَى نَفْسِهِ
“Doa orang yang terzalimi itu dikabulkan, meskipun ia seorang pendosa. Maka keburukannya kembali kepada dirinya sendiri.” (HR. Ahmad)
Beliau juga bersabda:
دعوة المظلوم، وإن كان كافراً، ليس دونها حجاب، دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
“Doa orang yang terzalimi, meskipun ia seorang kafir, tidak ada penghalang antara doa itu dengan Allah. Tinggalkanlah hal yang meragukanmu dan ambillah yang tidak meragukanmu.” (HR. Ahmad)
Dari hadis-hadis ini, Islam mengajarkan agar umatnya tidak berbuat zalim atau menyakiti siapa pun, termasuk orang yang berbeda keyakinan.
Salah satu contoh nyata dalam interaksi sosial yang baik dengan pemeluk agama lain adalah kisah yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab. Suatu hari, beliau menyembelih seekor kambing untuk keluarganya, lalu bertanya, “Apakah kalian sudah memberikan dagingnya kepada tetangga Yahudi kita?”
Lantas beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
‘ما زال جبريل يوصيني بالجار حتى ظننت أنه سيورثه’ –
‘Jibril terus-menerus berpesan kepadaku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga akan mendapatkan warisan.'” (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam juga memerintahkan manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, bahkan jika mereka berbeda agama, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَصَاحِبْهُمَا فِي ٱلدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan pergaulilah mereka (orang tuamu yang kafir) di dunia dengan akhlak yang baik.” (QS. Luqman: 15)
Islam tidak hanya memperhatikan akhlak dalam kehidupan individu, tetapi juga dalam kehidupan sosial dan peradaban suatu bangsa. Kejayaan suatu bangsa sangat bergantung pada kemuliaan akhlaknya. Jika moralitas suatu bangsa runtuh, maka peradabannya pun akan hancur. Sebagaimana dikatakan oleh seorang pujangga Arab:
إنما الأمم الأخلاق ما بقيت
فإن هم ذهبت أخلاقهم ذهبوا
“Hanya tegak bangsa dengan budinya,
Selama akhlak masih bercahaya.
Namun jika akhlak itu sirna,
Maka lenyaplah mereka bersama.”
Nabi ﷺ juga mengingatkan bahwa kekuasaan tidak akan langgeng jika hanya mengandalkan kedudukan dan kekuatan, tanpa memperhatikan etika dan hubungan baik dengan sesama.
Dari Anas bin Malik, ia berkata:
“Kami berada di sebuah rumah yang di dalamnya ada sekelompok kaum Muhajirin dan Anshar. Kemudian Rasulullah ﷺ datang kepada kami, maka setiap orang memberikan ruang dengan harapan agar beliau duduk di sebelahnya. Kemudian beliau ﷺ berdiri menuju pintu, lalu mengambil pegangan pintu dan bersabda:
“الأئمة من قريش، ولهم عليكم ما فعلوا ثلاثًا، إذا استُرحِموا رَحِموا، وإذا حكموا عدلوا، وإذا عاهدوا وفَوا، فمن لم يفعل ذلك، فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين.”
“Para pemimpin itu dari Quraisy, mereka memiliki hak atas kalian selama mereka melakukan tiga hal: jika mereka dimintai kasih sayang, mereka menyayangi; jika mereka memutuskan hukum, mereka berlaku adil; dan jika mereka membuat perjanjian, mereka menepatinya. Namun, jika mereka tidak melakukan itu, maka laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia akan menimpanya.” (HR. Abu Dawud)
Hadis ini menunjukkan bahwa keadilan, kasih sayang, dan kesetiaan terhadap janji adalah pilar utama kepemimpinan yang diberkahi oleh Allah.
Seorang pemimpin sejati dalam Islam bukan hanya seorang penguasa, tetapi juga sosok yang dikenal dengan akhlak yang mulia. Jika seorang hakim yang adil memegang teguh ajaran Islam dan Al-Qur’an, maka manusia akan melihat keadilannya dan mempercayainya. Namun, jika ia menyimpang dari nilai-nilai keislaman, maka ia akan kehilangan wibawa, dan orang-orang tidak akan lagi menghormatinya.
Al-Hasan berkata:
قال رسول الله ﷺ: “إذا أراد الله بعبدٍ خيرًا فَقَّهَهُ في الدين، وجعل المال عند السماحة، وإذا أراد بعبدٍ شرًّا جعل الجهل عند الجفاء.”
“Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang, Dia akan memberinya pemahaman dalam agama dan menjadikan hartanya berada di tangan orang yang dermawan. Namun, jika Allah menghendaki keburukan bagi seseorang, Dia akan menjadikan kebodohan melekat pada kekasarannya.” (HR. Abu Dawud)
Hadis ini menegaskan bahwa ilmu agama adalah tanda kebaikan dari Allah, sedangkan kebodohan yang disertai dengan sikap kasar adalah tanda keburukan.
Imam Ibnu Taimiyah juga berkata:
“إن الله يقيم الدولة العادلة وإن كانت كافرة، ولا يقيم الدولة الظالمة وإن كانت مسلمة.”
“Sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun kafir, tetapi tidak akan menegakkan negara yang zalim meskipun Muslim.”
Dari sini, kita memahami bahwa keadilan adalah prinsip utama dalam pemerintahan. Sebuah bangsa akan bertahan dan berkembang jika memegang teguh keadilan, tetapi jika bangsa tersebut berlaku zalim, maka kehancurannya hanya tinggal menunggu waktu.
Karena itu, akhlak yang baik adalah inti dari Islam. Akhlak bersumber dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Islam bukan hanya sekadar ibadah ritual, tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan. Jika suatu umat kehilangan akhlaknya, maka mereka akan kehilangan keberkahan dari Allah. Dan jika mereka meninggalkan kemuliaan akhlaknya, maka mereka akan jatuh dari kedudukannya di hadapan manusia.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat, dan Dia melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90)
Wallahul muwaffiq.
Sumber:
Al-Ghazali, Muhammad (1408H/1987M). خلق المسلم. Dar Ar-Royyan Li At-Turots. Kairo-Mesir.
Ditulis oleh: Ahmad Anshori, Lc., M.Pd.
Artikel: Remajaislam.com