Hari ini, kita hidup di zaman reaktif.
Seseorang mencela—dibalas dalam satu detik.
Ada kritik—langsung posting sindiran.
Salah paham sedikit—blokir.
Marah sebentar—bikin story penuh kode.
Semuanya serba cepat, emosi serba diluapkan. Seolah-olah, semakin cepat kita bereaksi, semakin kuat kita terlihat. Padahal, kekuatan sejati seringkali justru hadir dalam bentuk yang paling diam — ḥilm.
Apa itu ḥilm?
Sifat ḥilm bukan sekadar sabar. Ia adalah kekuatan yang tenang, ketegasan yang lembut, dan kebijaksanaan yang tidak meledak-ledak. Para ulama menggambarkan ḥilm sebagai:
-
Kematangan berpikir, bahkan sejak muda.
-
Akhlak yang luhur, tidak mudah marah, tidak mudah menyalahkan.
-
Kesabaran dan keteguhan, saat yang lain panik atau emosi.
-
Kemampuan memaafkan, bukan karena lemah, tapi karena kuat.
Dalam Tafsir As-Sa’di, dijelaskan bahwa Ismail memiliki ḥilm karena ia sabar, berbudi pekerti baik, lapang dada, dan mampu memaafkan orang yang bersalah padanya.
Bayangkan, seorang anak muda yang ketika diminta ayahnya untuk disembelih — justru menjawab dengan tenang:
“Wahai ayahku, lakukan apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Dapat dipahami bawah makna ḥilm sebagai gabungan dari akal yang tajam, kesabaran yang luas, ketenangan dalam bertindak, dan kejernihan dalam berpikir. Dengan kata lain, ḥilm adalah perpaduan antara kepala yang dingin dan hati yang hangat — ciri sejati orang besar.
Apakah kita bisa seperti itu?
Ḥilm di Era Sosial Media
Di zaman ini, kita sering merasa bangga saat bisa membalas dengan cepat, menyindir lebih pedas, atau menyudutkan orang lain lewat komentar. Tapi ḥilm mengajarkan hal sebaliknya: kekuatan sejati adalah ketika kamu bisa tenang saat dipancing emosi, bisa senyum saat diremehkan, dan tetap bijak walau kamu punya kuasa untuk membalas.
Banyak orang ingin terlihat kuat, tapi sedikit yang kuat untuk menahan diri.
Ismail mengajarkan kepada kita: menjadi anak muda yang ḥalīm adalah kekuatan yang sejati. Kekuatan yang akan membawamu pada kebesaran — bukan karena suara yang keras, tapi karena hati yang lapang. Bukan karena menekan orang lain, tapi karena mampu menundukkan ego sendiri.
Bagaimana Melatih Diri Jadi Ḥalīm?
-
Belajar diam saat emosi memuncak — sebab diam adalah awal dari kendali.
- Belajar mendengar bukan langsung membalas — karena hilm lebih memilih memahami daripada memenangkan perdebatan.
- Latih menunda marah — karena diam 5 detik bisa saja menyelamatkan 5 tahun hubungan.
-
Latih respon bijak, bukan reaktif — tidak semua harus dibalas, tidak semua pantas diributkan.
-
Luaskan pemahaman, jangan sempitkan pandangan — ḥilm lahir dari ilmu dan kedewasaan.
-
Ingat akhirat, bukan sekadar gengsi dunia — karena Allah mencintai jiwa yang tenang dan penyantun.
Akhir Kata
Sahabat muda, dunia ini tidak kekurangan orang yang pintar, cepat, atau kuat. Tapi dunia sedang sangat membutuhkan anak muda yang ḥalīm — yang mampu menghadirkan kedamaian, menyebarkan kebijaksanaan, dan menjadi penenang di tengah badai. Itulah jalan para nabi. Itulah jalan Ismail ‘alaihis-salām. Dan itulah jalan yang pantas kamu tempuh — jika kau ingin menjadi pemuda yang dirindukan langit.
Tidak ada kemuliaan yang lebih tinggi daripada hati yang mampu menahan amarah, dan lisan yang mampu memilih diam ketika dunia ingin kau teriak.
Kita tidak perlu membuktikan kekuatan dengan melawan. Terkadang, kekuatan justru dibuktikan dengan menahan.
Maka jadilah pemuda yang ḥalīm.
Tenang, bukan karena lemah — tapi karena hatimu cukup kuat untuk tidak dibawa arus.
Sabar, bukan karena tak mampu membalas — tapi karena kamu memilih jalan yang lebih tinggi.
Itulah jalan para nabi. Itulah warisan Ismail. Dan itu bisa jadi jalanmu.
Ditulis oleh: Ahmad Anshori, Lc., M.Pd.
Artikel: Remajaislam.com