Celana dalam terkena dara haid, atau pakaian anak terkena kotoran. Sudah berusaha dicuci namun warna atau bercak najis masih menempel dan sangat susah dihilangkan.
Bagaimanakah hukumnya?
Apakah najis atau tidak ya?
Sebuah hadis dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu- yang menceritakan tentang pertanyaan yang disampaikan seorang sahabat wanita bernama Khoulah binti Yasar -radhiyallahu’anha- kepada Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-,
يا رسول الله إنه ليس لي إلا ثوب واحد وأنا أحيض فيه
“Ya Rasulullah, aku hanya punya satu baju, sementara baju itu terkena darah haid.”
Nabi menjawab,
إذا طهرت فاغسليه ثم صلي فيه
“Kalau kamu sudah suci dari haid, cucilah bagian pakaian yang kena darah haid lalu silahkan pakai untuk shalat.”
Khoulah bertanya kembali,
فإن لم يخرج الدم ؟
“Kalau bekas darah haid tidak hilang?”
يكفيك غسل الدم ولا يضرك أثره
“Cukup kamu cuci saja, bekas darah haid itu tidak membahayakanmu (tidak najis, pent).” (HR. Tirmidzi, dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani)
Hadis ini adalah jawaban dari persoalan yang diangkat pada tulisan ini. Bahwa bekas darah haid atau bekas najis apapun yang menempel di pakaian, setelah berusaha maksimal dihilangkan ternyata tidak hilang, maka dimaafkan. Boleh dipakai untuk shalat dan dianggap suci.
Kesimpulan ini sebagaimana keterangan di dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah (Ensiklopedi Fikih), yang diterbitkan oleh Kementrian Agama dan Wakaf Kuwait (1416 H/1995 M):
ذهب جمهور الفقهاء – المالكية والشافعية والحنابلة – إلى أن إزالة لون النجاسة إن كان سهلا ومتيسرا وجب إزالته لأن بقاءه دليل على بقاء عين النجاسة ، فإن تعسر زوال اللون وشق ذلك أو خيف تلف ثوب فإن المحل يطهر بالغسل ولا يضر بقاء اللون
“Mayoritas ulama yaitu Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpandangan bahwa menghilangkan warna najis hukumnya wajib bila memang mudah dilakukan. Karena adanya warna najis menunjukkan adanya wujud najis. Namun bila itu susah dihilangkan, atau khawatir pakaiannya sobek, maka bagian tersebut cukup disuci saja. Bercak najis yang tersisa tidak mengapa.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 35/352).
Wallahua’lam bis showab.
Kampoeng Santri Jogja, 14 Rajab 1444 H
Penulis : Ahmad Anshori
Artikel : RemajaIslam.com