Rumah yang selalu meninggalkan kerinduan untuk kembali, meskipun telah berulang kali mengunjunginya, sumber ketentraman hati dan rasa aman dari segala macam rasa takut dan kekhawatiran.
Baitullah Ka’bah, itulah nama yang sangat sederhana, la bukan istana, atau bangunan yang mewah nan megah namun dalam kesederhanaannya menyimpan keagungan dan kemuliaan tiada bandingnya, karena kemuliaan dan keagungan itu tidak selalu identik dengan aksesoris dunia, tetapi kemuliaan dan keagungan yang hakiki itu bersumber dari Yang Mahamulia dan Mahaagung, Allah Ta’ala.
Ketika memandang Ka’bah, teringat kisah Nabi Ibrahim -‘alaihissalam- tatkala diperintahkan untuk meninggalkan istrinya Hajar hanya berdua bersama putranya yang masih disusui Ismail -‘alaihissalam- di tempat ini. Ya, tempat yang asalnya lembah padang pasir tandus yang kering tanpa tanaman dan sumber air, tidak ada satu pun orang yang tinggal atau singgah. Berbekal satu kantung air dan kurma, mereka melaksanakan perintah Allah dengan penuh ketaatan, seraya menyandarkan segala harapan kepadaNya dengan penuh keyakinan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan hambaNya yang taat.
Saat Ismail beranjak dewasa Ibrahim mengajaknya untuk membangun Ka’bah, Ismail membantu ayahandanya mengangkat bebatuan. Doa “Wahai Tuhan kami, terimalah amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” selalu mengiringi kerja mereka berdua. Hingga ketika tangan Ibrahim tidak dapat meraih tingginya, Ismail meletakkan satu batu untuk pijakan ayahnya; inilah Maqam Ibrahim yang ada di depan pintu Ka’bah itu.
Mungkin ini adalah salah satu rahasia di balik keberkahan baitullah Ka’bah, keimanan keluarga Ibrahim – ‘alaihissalam yang terwujud dalam keyakinan tanpa ragu akan kekuasaan Allah, diiringi dengan ketundukan dan kepatuhan dalam melaksanakan. perintahNya. Allah berkendak mengabadikan bangunan ini agar kita dapat mengambil pelajaran darinya, dan dari orang-orang yang terlibat dalam pembangunannya.
Iman dan ketakwaan adalah kunci keberkahan hidup seseorang di dunia ini, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, niscaya akan Kami bukakan untuk mereka segala keberkahan dari langit dan bumi.” (QS. al-A’raf: 96].
Lima tahun sebelum kenabian Muhammad – shallallahu ‘alaihi wasallam- banjir bandang melanda Mekkah hingga merusak beberapa bagian Ka’bah. Para pemuka Quraisy sepakat untuk memugar bangunan kiblat bumi ini dengan dana yang bersih dari praktek riba, transaksi zina, dan kezaliman. Ketika tiba waktu pemasangan hajar aswad mereka bertengkar ingin mendapat kehormatan memasang batu surga ini. Namun akhirnya mereka semua lega dengan solusi cerdas Nabi pemersatu umat, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam-. Beliau membentangkan kain dan meletakkan hajar aswad di tengahnya, semua perwakilan kabilah ikut serta membawanya ke tempat semula.
Ternyata dana bersih yang tersedia tidak memadai untuk mengembalikan dinding Ka’bah seperti sediakala. Dengan terpaksa mereka tidak memasukkan hijr dalam bangunan Ka’bah seperti yang kita saksikan sekarang ini.
Tauhid dan Ketundukan
Thawaf adalah satu satunya ibadah yang tidak dilakukan kecuali di Ka’bah. Memutari ka’bah sepertinya sederhana, namun ketika dilakukan dengan penuh ketundukan dan kecintaan, hal tersebut menjadi ibadah yang sangat agung. Karena hakikatnya bukan hanya fisik kita yang sedang mengitari bangunan simbol tauhid ini, namun lebih dari itu thawaf adalah ibadah hati, mengajarkan ketundukan kepada Yang Maha Pencipta, menghadirkan rasa ketidakberdayaan seorang hamba yang sangat lemah di hadapan Rabbnya Yang Mahakuat lagi Mahaperkasa, serta menguatkan ikatan tali cinta terhadapnya.Di saat thawaf kita sangat yakin bahwa tidak ada yang dapat mengabulkan hajat kita kecuali Allah Ta’ala, baik hajat di dunia seperti kesembuhan dan rizki yang lapang maupun hajat di akhirat seperti ampunan, selamat dari siksa, dan sebagainya. Di kala mengayunkan langkah kaki, kita meyakini bahwa tiada yang dapat memberi manfaat atau menolak mudharat selain Allah.
Di waktu lisan melantunkan dzikir dan doa tidak terbetik dalam hati sedikit pun untuk berharap kepada makhluk Nya, segala harapan kita hanya tertuju kepada Allah semata. Hilang semua rasa takut dan ketergantungan kepada selain Allah, sehingga hati terasa amat lapang, tenang, tidak lagi khawatir dan pesimis, selama Allah menjadi satu- satunya tujuan hati kita. Bilangan tujuh dalam thawaf, kesunnahan mencium hajar aswad, dan mengusap rukun Yamani tidak kita ketahui hikmahnya secara pasti. Ya, kita melakukannya murni karena ini adalah perintah Allah dan RasulNya, bukan lantaran alasan lain.
Alangkah indahnya hidup ini bila kita senantiasa menundukkan hati hanya kepada Allah, ketundukan yang mendorong untuk senantiasa mentaatiNya. Tidak ada guna kita menundukkannya kepada hawa nafsu, syetan, ataupun manusia. Karena sesungguhnya ketundukkan kepada makhluk yang melahirkan sikap durhaka kepada Allah adalah sebab terbesar kesengsaraan hidup. Barangkali kita sering menyangka bahwa sebab musibah dalam hidup ini adalah faktor duniawi, padahal sesungguhnya penyebab utama musibah tersebut adalah kedurhakaan kita kepada Allah ‘azza wajalla.
Persatuan Umat
Ketika akan melakukan thawaf, siapa saja pasti akan melepas segala atribut pribadi yang bersifat dunia; keturunan, jabatan, harta, dan segala kepentingan. Ia hanya ingin membawa identitas aslinya sebagai hamba Allah Subhanahu wata’ala, padahal yang berthawaf berasal dari berbagai etnis suku bangsa, tingkat sosial yang berbeda beda, ada yang kaya dan yang miskin, pejabat dan rakyat biasa, direktur dan karyawan. Semua melakukan satu ibadah secara bersamaan, saling mengisi ruang yang kosong agar barisan yang biasanya berbanjar terlihat rapat, tidak saling mendahului, dan masing masing berusaha untuk tidak menyakiti saudaranya, baik dengan tangan, kaki, atau lisannya.
Yang paling mampu mengontrol itu semua adalah hati yang bersih dari kotoran; sifat sombong, dengki, benci, egois dan penyakit hati lainnya. Hati yang dihiasai oleh sifat-sifat mulia; cinta kepada sesama, lebih mementingkan orang lain, peduli kepada saudarnya, rendah hati, lembut dan penyayang. Maka sekalipun kaki terinjak, atau badan tersenggol, bahkan mungkin didahului dengan kasar, ia akan memaafkannya dengan lapang dada. Karena yang lebih penting bagi orang yang sedang berthawaf adalah kesempurnaan nilai thawafnya, sementara ibadah ini menjadi tidak sempurna bilamana disertai sikap- sikap yang menyakitkan orang lain.
Ini adalah simpul-simpul ukhuwah. islamiyah yang merupakan tali pengikat persatuan kaum muslimin, umat yang diibaratkan oleh Rasulnya seperti satu tubuh yang saling merasakan, seperti satu bangunan yang saling mengokohkan. Umat yang satu. satu Tuhannya, satu agamanya, satu kiblatnya, dan hanya satu namanya, Allah berfirman, “(Ikutilah) agama orang tua kalian Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian sebagai orang-orang muslim dari dahulu.” (QS. Al-Hajj: 78].
Umat islam tidak akan bersatu dengan harta dan kepentingan dunia, justru keduanya adalah sebab terbesar perpecahan umat ini, Allah menegaskan, “seandainya engkau infakkan segala apa yang ada di dunia, tidaklah engkau dapat menyatukan hati-hati mereka, akan tetapi Allahlah yang menyatukan hati- hati mereka.” [QS. Al-Anfal: 63].
Hanya keimananlah yang bisa menyatukan, iman yang memancarkan kesadaran bahwa ukhuwah islamiyah adalah salah satu ibadah, dan segala perbuatan yang dapat merusak ukhuwah adalah dosa. Iman yang selalu mengingatkan hakikat status dirinya dan seluruh manusia sebagai hamba Allah, dan segala nikmat yang Allah karuniakan hanyalah titipan, sehingga sangat tidak pantas untuk dijadikan sarana untuk menyombongkan diri atau merasa lebih daripada orang lain. Iman yang bisa mengobati sekaligus membersihkan penyakit dan kotoran hati. Karena hati yang bersih adalah syarat agar ukhuwah dan persatuan bisa terwujud.
Bila masih menyimpan kebencian, mustahil rasanya akan menyapa salam kepada saudaranya; selama masih ada kedengkian, pasti ia akan selalu memusuhinya, dan tentu akan lebih sulit untuk membantunya di kala ia membutuhkan pertolongan. Tidak hanya antar individu, hal ini berlaku pula antar jamaah, lembaga, organisasi, atau kumpulan manusia lainnya. Maka berbahagialah mukmin yang tidak menyimpan dalam hatinya sedikitpun kebencian kepada saudaranya.
Pondasi di atas sangat penting agar terwujud persatuan yang kokoh. Banyaknya orang yang berkumpul bukan menjadi kunci kuatnya persatuan sebuah umat, namun kualitas setiap individu umat itulah yang akan menjadi penentu kekuatan persatuannya. Persatuan yang berlandaskan iman ini yang akan menjadi solusi bagi problematika yang menimpa umat dewasa ini; penindasan yang dialami kaum muslimin di sebagian negeri, lemahnya ekonomi dan pendidikan, serta dekadensi moral yang mencoreng keindahan kehidupan muslimin.
Musuh-musuh Islam sangat takut bila persatuan ini terwujud, maka tidak mengherankan jika mereka bekerja siang dan malam dengan segala dukungan agar kaum muslimin selalu berpecah, bermusuhan satu dengan yang lainnya, sehingga mereka tidak mampu bangkit untuk melakukan perbaikan untuk kemajuan umat manusia. Allah berpesan:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan musuh, maka berteguh hatilah kalian dan sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya, pasti kalian beruntung. Dan taatlah kepada Allah dan RasulNya dan janganlah kalian berbantah-bantahan [berpecah belah], yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian. Bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” [QS. Al-Anfal: 45-46].
Inilah Ka’bah, baitullah yang akan selalu dirindukan, bukan karena kemegahannya, karena banyak yang lebih megah darinya, bukan pula karena mahalnya kain kiswah yang menutupinya, karena ada yang lebih mahal dari itu, namun karena Allah telah menjadikannya matsaabah, tempat yang tidak akan meninggalkan rasa bosan dan puas bila dikunjungi.
Allah berfirman:
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat shalat. Telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumahku untuk orang- orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” [QS. Al-Baqarah: 125].
Kerinduan tersebut semestinya melahirkan kerinduan akan nilai-nilai moral yang Allah titipkan dalam ibadah thawaf, memancarkan ketundukan mutlak kepadaNya, yang akan menjadi landasan bagi persatuan umat menuju kemenangan Islam dan kaum muslimin.
Referensi:
- Ketika Tanah Suci Berbicara (1435H). Indonesian Community Care Center. Penerbit Maktabah An-Nashim: Riyadh – Saudi Arabia.
Editor : Ahmad Anshori
Artikel : RemajaIslam.com