Muzdalifah adalah daerah terbuka yang merupakan tempat jamaah haji singgah dan bermalam setelah bertolak dari Arafah. Muzdalifah terletak di arah tenggara Mina, yaitu antara Ma’zamain (dua jalan yang memisahkan dua gunung yang saling berhadapan) Arafah dan lembah Muhassir, berjarak sekitar 7 km dari masjid Namirah. Luas Muzdalifah sekitar 963 hektar, namun yang dapat dimanfaatkan jama’ah haji untuk mabit hanya sekitar 682 hektar. Di sana terdapat rambu-rambu pembatas yang menentukan batas awal dan akhir Muzdalifah.
Muzdalifah diambil dari bahasa arab, berasal dari kata zalaf yang artinya dekat, karena jaraknya dekat dengan Mina, atau berarti berkumpul, karena para jama’ah haji berkumpul di tempat ini setelah meninggalkan padang Arafah. Nama lain Muzdalifah adalah Masy’ar alharam dan Jam.
Pelajaran dari Muzdalifah
Setelah bertolak dari Arafah dan tiba di Muzdalifah disunnahkan bagi jama’ah haji untuk bersegera melaksanakan shalat Magrib dan Isya secara jamak qashar, kemudian beristirahat hingga masuk waktu Subuh. Setelah menunaikan shalat Subuh dianjurkan untuk banyak berzikir kepada Allah Ta’ala hingga langit mulai memerah, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Mina sebelum terbit matahari. Allah Ta’ala berfirman:
فَإِذَآ أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَٰتٍۢ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ عِندَ ٱلْمَشْعَرِ ٱلْحَرَامِ ۖ وَٱذْكُرُوهُ كَمَا هَدَىٰكُمْ وَإِن كُنتُم مِّن قَبْلِهِۦ لَمِنَ ٱلضَّآلِّينَ
“Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah ke-pada Allah di Masy’aril haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan Nya kepadamu.” (QS. Al Baqarah: 198).
Pada malam itu jama’ah haji mabit [bermalam], namun tidak sembarang mabit sebagaimana hari-hari biasa. Ini adalah mabit yang menurunkan ketenangan dalam jiwa, karena ia laksanakan atas perintah dari Allah Ta’ala, walaupun tempatnya tidak senyaman kamar tidurnya di tanah air.
Di Subuh hari para jama’ah haji terus melanjutkan dzikir dan doa kepada Allah Ta’ala, mengkondisikan jama’ah agar senantisa hatinya terhubung dengan Sang Khaliq.
Sangat indah agama ini yang mengajarkan penganutnya untuk bersikap seimbang, kendati perjalanan haji identik dengan meninggalkan aktivitas duniawi untuk konsentrasi ibadah kepada Allah, namun hak jasmani juga tetap harus diberikan dengan mengistirahatkannya.
Referensi:
Ketika Tanah Suci Berbicara (1435H). Indonesian Community Care Center. Penerbit Maktabah An-Nashim: Riyadh – Saudi Arabia.
Editor : Ahmad Anshori
Artikel : RemajaIslam.com