Bagi seorang muslim agama adalah panduan hidup yang utama dari segala pedoman yang ada di dunia ini. Prinsip-prinsip atau norma-norma yang lain, akan diambil sebagai pedoman bila bersesuaian atau menguatkan aturan agama. Saat agama menghukumi halal maka ia dilakukan. Saat agama menghukumi haram, maka muslim tak ragu untuk menjauh. Saat agama menyampaikan perintah wajib atau sunnah, seorang muslim akan menyambut dengan kelapangan hati,
“Sami’na wa atho’na… kami mendengar dan kami siap taat”.
Oleh karenanya, Islam adalah seluruh kehidupan bagi seorang muslim. Hal ini menuntut setiap muslim mengetahui cara menemukan hukum-hukum agama berkenaan masalah sehari-hari. Hal tersebut dapat diupakan melalui 2 alternatif berikut ini:
- Jika dia sebagai ulama/mujtahid = dia bisa mengetahui hukumnya dengan pemahamannya terhadap dalil agama melalui kaidah-kaidah Ushul Fikih yang telah dia kuasai. Tentu bukan sembarang orang yang memiliki kompetensi ini. Diperlukan perjuangan belajar keilmuan Islam yang panjang, tekun serta rapi, baik pada ilmu-ilmu alatnya dan ilmu-ilmu praktisnya, untuk dapat menjadi mujtahid.
- Jika seorang sebagai orang awam = dengan bertanya kepada ahli ilmu atau mengikuti kesimpulan hukum syariat yang dipilih oleh ulama.
Banyak dalil yang menunjukkan poin kedua ini, diantaranya:
Firman Allah ta’ala:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS. An-Nahl: 43 dan Al-Anbiya’: 7)
Dan juga ayat yang lain:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah: 122)
Kemudian hadis tentang Al-’Asif yang bercerita tentang kisahnya bertanya kepada para ahli ilmu, kemudian mendapatkan jawaban dari persoalan, dan Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- tidak menngingkarinya.
Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Al Juhani radliallahu ‘anhuma bahwa keduanya berkata,
إِنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَعْرَابِ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْشُدُكَ اللَّهَ إِلَّا قَضَيْتَ لِي بِكِتَابِ اللَّهِ فَقَالَ الْخَصْمُ الْآخَرُ وَهُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ نَعَمْ فَاقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ وَأْذَنْ لِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْ قَالَ إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا عَلَى هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ وَإِنِّي أُخْبِرْتُ أَنَّ عَلَى ابْنِي الرَّجْمَ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَوَلِيدَةٍ فَسَأَلْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّمَا عَلَى ابْنِي جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَأَنَّ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا الرَّجْمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ الْوَلِيدَةُ وَالْغَنَمُ رَدٌّ وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ اغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا قَالَ فَغَدَا عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَأَمَرَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرُجِمَتْ
“Seorang arab bbadui datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Ya Rasulullah, aku bersumpah dengan nama Allah kepadamu, bahwa engkau tidak memutuskan perkara diantara kami melainkan dengan Kitab Allah. Lalu lawan yang lebih pandai berbicara berkata: “Dia benar, putuskan perkara diantara kami dengan Kitab Allah dan perkenankanlah untukku”.
Maka Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam besabda, “Silahkan ceritakan permasalahan kalian”.
Si Arab Badui itu lalu bercerita, “Sesunguhnya anakku adalah buruh yang bekerja pada orang ini. Lalu dia berzina dengan istrinya maka aku diberitahu bahwa anakku harus dirajam.. Kemudian aku tebus anakku dengan seratus ekor kambing dan seorang budak wanita. Kemudian aku bertanya kepada ahli ilmu lalu mereka memberitahu aku bahwa atas anakku cukup dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun sedangkan untuk istri orang ini dirajam”.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku akan putuskan buat kalian berdua dengan menggunakan Kitab Allah. Adapun seorang budak dan kambing seharusnya dikembalikan dan untuk anakmu dikenakan hukum cambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun. Adapun kamu, wahai Unais, besok pagi datangilah istri orang ini. Jika dia mengaku maka rajamlah”.
Kemudian Unais mendatangi wanita itu dan dia mengakuinya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar wanita itu dirajam. (HR. Bukhari)
Secara tegas Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- pernah bersabda,
ألَا سألوا إذْ لم يَعلَموا؛ فإنَّما شِفاءُ العِيِّ السُّؤالُ
“Mengapa mereka tidak bertanya jika memang tidak tahu?! Obat kebodohan itu bertanya.” (HR. Bukhari no. 6827 dan Muslim no. 1697)
Imam Syatibi -rahimahullah- berkata,
إن المقلد إذا عرضت له مسألة دينية فلا يسعه في الدين إلا السؤال عنها على الجملة
“Orang yang muqollid (awam dalam beragama) itu jika menemukan masalah agama, maka tak ada kewajiban agama padanya kecuali bertanya kepada yang berilmu meskipun secara global.” (Al-Muwafaqot 4/261).
Referensi:
As-Syatsri, Sa’ad bin Nashir bin Abdul Aziz (1424H/2003M). Al-Qawa’id Al-Ushuliyyah Wal Fiqhiyyah Al-Muta’alliqoh Bil Muslimin Ghoir Al-Mujtahid. Penerbit Dar Isybilia. Riyadh-Saudi Arabia.
Kampoeng Santri, Bantul, 29 Dzulhijjah 1444 H – 17 Juli 2023 M
Ditulis oleh : Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com