Semua orang senang saat dipandang orang pintar, walaupun sebenarnya dia tak pantas dengan sebutan itu. Namun sebodoh-bodohnya orang pasti akan marah saat disebut orang bodoh. Sehingga semua orang ingin disebut dipanggil sebagai ulama atau Ustadz, senang berpenampilan dengan kostum-kostum ulama. Padahal tak semua orang yang berbaju ulama layak ditanya tentang agama Maka bersikap selektif memilih guru atau Ustadz menjadi sebuah keniscayaan yang harus dilakukan.
Jika dalam hal kosultasi masalah duniawi saja kita akan hati-hati memilih, sampai percaya betul telah menemukan orang yang ahli dalam bidang yang kita tanyakan. Masalah agama sungguh lebih mahal dari itu semua, lebih layak untuk kita sikapi seperti itu. Karena agama adalah panduan segala hidup kita, dan sebagai interaksi penyembahan kepada Allah ‘azza wa jalla.
Tak boleh sembarang bertanya tentang agama. Ada ketentuan yang harus ada pada seorang untuk layak ditanya tentang masalah agama, YAITU:
Memiliki kemampuan memahami dalil secara global (ijmal) maupun detail (tafshil).
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara mengetahui seorang itu memiliki kemampuan itu sehingga layak menjadi rujukan dalam masalah agama?
Syaikh Prof. Dr. Sa’ad bin Nashir As-Syatsri -hafidzohullah- menerangkan beberapa indikator untuk mengetahui seorang memiliki kompetensi memahami dalil atau tidak, yaitu:
- Riwayat belajar.
- Dikenal oleh ahi ilmu yang lain sebagai Ustadz yang ceramah-ceramah/fatwa-fatwanya dijadikan rujukan.
- Obyektif di dalam berfatwa.
- Masyarakat mengenalnya sebagai Ustadz yang layak ditanya masalah agma.
- Pandangan-pandangan keagamaannya dijadikan rujukan oleh sesama ahli ilmu/Ustadz.
Waffaqokumullah….
Referensi:
As-Syatsri, Sa’ad bin Nashir bin Abdul Aziz (1424H/2003M). Al-Qawa’id Al-Ushuliyyah Wal Fiqhiyyah Al-Muta’alliqoh Bil Muslimin Ghoir Al-Mujtahid. Penerbit Dar Isybilia. Riyadh-Saudi Arabia.
Penulis: Ahmad Anshori
Artikel: RemajaIslam.com