Ilmu adalah hal yang paling berharga di dunia ini. Hal yang sangat mahal, pasti memiliki norma-norma dan etika yang luhur dalam menggapainya. Salahsatu pintu yang terbuka lebar menuju khazanah ilmu adalah bertanya. Sehingga dalam bertanya tentu ada norma dan etika yang harus diupayakan. Saat bertanya kepada Ustadz, ada sejumlah etika/adab yang harus kita perhatikan dan diamalkan:
Pertama, bersikap sopan di hadapan Ustadz.
Sopan dalam perilaku dan sopan dalam ucapan. Sopan dalam perilaku dengan menampakkan sikap yang beradab. Sopan dalam ucapan dengan memilih diksi yang sopan dalam konteks ucapan yang mengesankan interaksi seorang murid yang haus ilmu kepada gurunya. Kedua jenis kesopanan ini dapat diraih dengan satu sifat, yaitu rendah hati (tawadu’) di hadapan Ustadz. Sebagaimana yang Allah terangkan dalam bersikap kepada orang tua:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (QS. An-Nahl: 24)
Pada ayat di atas Allah menyebutkan satu sifat sebagai bentuk bakti kepada orangtua yaitu bersikap rendah hati di hadapan orangtua. Tentu ada berbagai bentuk sikap dan perilaku dalam berbakti kepada orangtua. Namun, pada ayat ini Allah menyebutkan satu sifat saja, dalam perintah berbakti kepada orangtua, yaitu bersifat rendah hati. Ini menunjukkan bahwa di saat anak bersikap rendah hati dalam interaksinya dengan kedua orangtua, itu akan menjadikan ia mudah berbakti kepada kedua orangtua dengan berbagai bentuk sikap, ucapan dan perilaku berbakti. Ini menunjukkan bahwa sikap rendah hati adalah kunci segala bentuk kesopanan dan keluhuran budi pekerti.
Kedua, menjaga dan menghormati marwah guru.
Karena mawah guru atau ustadz adalah marwah ilmu. Menjaga kehormatan guru/ustadz sama saja akan menjaga kehormatan ilmu yang dibawanya. Oleh karena itu di dalam bertanya hendaknya jangan menampakkan ekspresi bertanya seperti bertanya kepada teman sejawat, atau kepada juniornya, meskipun ternyata Ustadz yang dia tanya adalah teman sejawatnya atau lebih junior secara usia.
Ketiga, memperhatikan keadaan sikologi Ustadz di saat bertanya.
Seperti tidak bertanya sautu permasalahan di saat Ustadz sedang sangat marah, sangat sedih, sangat bahagia, sangat lapar, sangat capek, jam-jam family time, jam-jam istirahat, terburu-buru dan keadaan-keadaan sikologi tidak stabil lainnya. Kalau kata anak-anak muda sekarang “bad mood”.
Mengapa ini perlu diperhatikan?
Karena untuk mendapatkan jawaban dan arahan yang maksimal dari Ustadz kita. Hal ini akan sulit diraih jika keadaan sikologi Ustadz sedang tidak stabil. Mendapatkan jawaban yang maksimal, akurat, kuat secara argumentasi ilmiah, obyektif, harus diupayakan oleh seorang murid dari pertanyaannya kepada Ustadznya. Karena jawaban Ustadz akan menjadi agama dan pedoman hidup bagi murid tersebut. Oleh karenanya Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- melarang seorang hakim memutuskan perkara dalam kedaan sikologi tidak stabil:
لاَ يَقْضِيَنَّ حَكَمٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ.
“Seorang hakim dilarang memutuskan antara dua orang ketika marah.” (HR. Bukhari)
Agar tidak terkesan tidak percaya terhadap jawaban Ustadz. Terlebih syariat telah memerintahkan orang awam bertanya kepada ahli ilmu dan mengamalkan jawabannya. Allah ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (QS. Al-Anbiya’: 7)
Ayat di atas menunjukkan bahwa fatwa ahli ilmu cukup sebagai dalil bagi orang awam.
Sebagai penuntut ilmu, hendaknya berusaha berprasangka baik di saat Ustadz yang kita tanya menyampaikan jawaban secara singkat. Bisa jadi itu karena waktu yang terbatas sementara banyak pertanyaan yang mendesak jawabannya harus di sampaikan di saat itu. Atau bisa juga karena Ustadz memandang jama’ah belum siap untuk memahami dalil, karena bertepatan dalil dari jawaban beliau tergolong dalil yang membutuhkan pemahaman lebih mendalam, sementara secara daya nalar keilmuan para jama’ah akan kesulitan memahaminya, dan kemungkinan-kemungkinan positif lainnya.
Namun ada pendapat lain: bahwa boleh-boleh saja jamaah bertanya dalil dari sebuah jawaban kepada Ustadz yang menjawab, Jika motivnya aman, yaitu untuk menambah kemantapan terhadap jawaban Ustadz, bukan karena kesombongan. Lalu secara budaya keilmuan, ahli ilmu akan menjawab dengan dalil-dalil yang qoth’i (primer/yakin) yang bisa dipahami oleh jama’ah.
Referensi:
As-Syatsri, Sa’ad bin Nashir bin Abdul Aziz (1424H/2003M). Al-Qawa’id Al-Ushuliyyah Wal Fiqhiyyah Al-Muta’alliqoh Bil Muslimin Ghoir Al-Mujtahid. Penerbit Dar Isybilia. Riyadh-Saudi Arabia.
Penulis: Ahmad Anshori
Artikel: RemajaIslam.com