Bismillah…
“Rasanya puas ya kalau bisa melampiaskan amarah. Seluruh beban emosi yang mengendap di dalam jiwa dan pikiran rasanya tertumpahkan.”
Itulah kira-kira bisikan halus iblis kepada kita untuk meluapkan amarah. Paadahal apa benar jiwa akan lega dan pikiran akan plong setelah melampiaskan marah?
Tidak, sama sekali tidak. Yang ada malah menyesal. Betapa banyak kesalahan terjadi saat emosi tidak terkendali, kemudian berujung penyesalan yang mendalam. Perceraian, putus silaturahmi, putus persahabatan, hilangnya rasa iba dan kasih sayang dll, adalah diantara rentetan masalah besar akibar dari marah. Yang ada malah marah itu awalnya kegilaan dan akhirnya penyesalan.
Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah pepatah Arab,
الغضب أوله جنون، ونهايته ندم
“Marah itu awalnya adalah kegilaan dan ujungnya adalah penyesalan.” (Al Manhaj Al Masluk fii Siyasah Al Muluk, hal. 404)
Remaja islam yang budiman, ada sebuah petunjuk yang indah yang ditawarkan oleh Islam berkenaan dengan marah, yaitu, Islam tak pernah setuju dengan sikap tempramental atau mudah marah (kecuali marah pada tempatnya ya, yaitu marah yang hasilnya positif, seperti marah karena larangan Allah dilangggar atau ajaran Islam direndahkan, itupun harus profesional, proposional dan bijaksana). Diantara dalil yang popoler berisi pesan ini adalah hadis singkat yang berbunyi,
لَا تَغْضَبْ
“Jangan marah.”
Nabi sampai mengulang pesan singkat ini sebanyak tiga kali. Penjelasan selengkapnya tentang hadis ini bisa di baca di artikel Remajaislam berjudul:
Pelajaran dari Hadis Singkat “Jangan Marah”
Di sini sobat remaja akan mendapatkan sejumlah trik jitu mereda marah:
Pertama, membaca ta’awudz.
Saat marah menguasai diri kita, bersegeralah memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Karena setanlah yang menghiasi marah pada diri seorang dan menggoda seorang dengan godaan yang menarik untuk marah, memicu ledakan emosi, hingga dapat mendorong seseorang melakukan perbuatan buruk dan mengucapkan kata-kata yang tidak baik. Sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadis yang tertulis di dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dalam hadits Sulaiman bin Surad radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan bahwa ada dua orang bertengkar di hadapan Nabi -shalallahu alaihi wasallam-, ketika kami sedang duduk-duduk bersama beliau. Salah satu dari mereka mencela temannya dalam keadaan marah, sampai mukanya memerah. Lalu Nabi bersabda,
إِنِّي لأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ، لَوْ قَالَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّحِيمِ
“Aku mengetahui sebuah kalimat yang seandainya dia mengucapkannya, maka marahnya akan pergi. Andai saja dia mengucapkan doa “a’udzubillah minas syaitho nirrojiim” (Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk).”
Sejumlah sahabat yang berada di tempat itu berkata kepada orang yang sedang emosi itu, “Tu kan kamu denger ngga itu nasehat Nabi?!
Dia berkata, “Saya bukan orang gila.” (Riwayat Bukhari 6048), dan Muslim 2610)
Ucapan ta’awudz yang segera diucapkan di saat marah memuncak, akan menjadi keberkahan dan dapat mencegah kehadiran setan beserta godaannya kepada seorang yang terpancing marah. Hal ini sesuai firman Allah Ta’ala:
وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ
“Jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan maka berlindunglah kepada Allah.” (QS. Al-A’raf: 200)
Kedua, diam.
Sebagaimana diterangkan di dalam sebuah hadis di Musnad Imam Ahmad, sabahat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-,
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتُ
“Jika kalian marah, maka diamlah.”
(Riwayat Ahmad 2136, dan dishahihkan Albani dalam Shahih Al Jami 693)
Artinya menahan diri untuk tidak berbicara saat marah. Karena jika memaksa berbicara dalam keadaan marah, ia akan mengucapkan kata-kata yang berakibat tidak baik. Seperti ucapan kasar, tak senonoh dan makian. Beberapa orang mungkin bahkan mencaci-maki diri sendiri dan anak-anaknya, lalu ia akan menyesal setelah kemarahan mereda.
Oleh karenanya saat sedang marah, sebaiknya tidak mengucapkan sepatah kata pun, berusahalah untuk menahan diri tidak berbicara. Karena orang yang sedang marah, tidak menyadari apa yang ia ucapkan. Sehingga menahan diri untuk berbicara sampai kemarahan mereda akan membuat ucapannya lebih bijak dan berakibat hasil lebih baik.
Mawriq Al-’Ajli berkata,
ما قلت في الغضب شيئًا إلا ندمت عليه في الرضا
“Saya tidak pernah berkata apa apapun dalam keadaan marah kecuali saya menyesalinya dalam keadaan ikhlas.” (Syarah hadits Ammar bin Yasir, karya Ibnu Rajab Alhanbali, hal. 166)
Ketiga, mengubah posisi.
Di dalam Al Musnad, terdapat hadis yang menjadi dasar trik ketiga ini. Hadis tersebut bersumber dari sahabat Anas bin Malik -radhiyallahu’anhu-, bahwa Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda,
إذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسُ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ
“Kalau kalian marah dalam keadaan berdiri, maka duduklah. Jika belum reda juga marahnya, maka berbaringlah.” (Riwayat Ahmad 21348, dan dishahihkan Al Bani dalam Shahih Al Jami 694)
Adanya arahan seperti ini karena orang yang sangat marah bila tetap berdiri lalu di hadapannya ada orang yang membuatnya marah, keadaan itu cenderung memudahkan dia melakukan tindakan yang merugikan orang lain, pemukulan atau tindak kedzaliman lainnya. Namun, jika ia berusaha menguasai diri dengan cara duduk, upaya seperti ini dapat mencegahnya dari berbuat hal-hal yang tidak baik baik kepada saudaranya atau sumber kemarahan. Jika dengan upaya seperti itu marahnya mereda, itulah kenikmatan, namun jika belum juga mereda, silahkan berbaring, dengan demikian ia semakin menjauh dari sumber yang memancing kemarahannya.
Siapa yang melakukan dua arahan istimewa ini, yaitu berkenaan dengan lisan yaitu berusaha tidak berbicara saat sedang marah dan berkenaan dengan perbuatan yaitu merespon dengan duduk atau berbaring hingga marah mereda, maka seorang akan meraih kesempurnaannya sebagai laki-laki dan kekuatan yang sesungguhnya. Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- mengajarkan,
ليْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Kuat yang sesungguhnya bukan semata-mata kekuatan fisik, melainkan kekuatan sejati adalah kemampuan mengendalikan diri saat marah.” (Riwayat Bukhari 6114, dan Muslim 2609)
Demikian, semoga kita dimudahkan Allah untuk menakhlukkan amarah.
Wallahul muwaffiq.
Referensi:
Al-Badr, Abdurazzaq bin Abdulmuhsin, (1444H). Ahadits Ishlah Al-Qulub, Dar Imam Muslim, Madinah, Saudi Arabia.
Penulis: Ahmad Anshori
Copyright RemajaislamCom