Bismillah…
Dari Abu Hurairah Radiyallahu anhu ia berkata: Rasulullah Sallallahu Alayhi Wasallam bersabda,
“اَلْمُؤْمِنُ اَلْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلىَ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِيْ كُلٍّ خَيْرٍ، اِحْرِصْ عَلىَ ماَ يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اللَّهُ وَماَ شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَـفْتَـحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ .
“Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun pada masing-masing (dari keduanya) ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah menggapai hal-hal yang bermanfaat untukmu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah. Jika kamu ditimpa sesuatu yang tak sesuai harapan, jangan katakan “aandai aku berbuat begin dan begitu, maka akan begini dan begitu. Tetapi katakanlah “Allah telah menakdirkan, dan karena kehendakNyalah hal ini terjadi”. Sebab kata ‘seandainya’ itu dapat membuka perbuatan setan.” (HR. Muslim)
Ilmu membangun diri dari hadis yang mulia ini:
Iman dan lemah adalah dua hal yang tidak bisa akur. Karena orang beriman adalah orang yang bertawakal kepada Allah, ia tak akan ada yang bisa melemahkannya, bahkan dirinya sendiri. Orang-orang sukses adalah, mereka yang paling jauh dari sikap yang lemah. Lemah yang dimaksud di sini adalah, lemahnya jiwa. Di saat seorang tahu bahwa dia telah lemah, lalu dia memandang segala usaha dan perjuangan yang telah ia curahkan dalam menuju sebuah kesuksesan itu sia-sia, mungkin karena percobaan satu ke percobaan berikutnya telah gagal. Sehingga ia menyerah kepada kegagalan. Dr. Mutho’ Barokat menerangkan,
ولكن الصعوبة الأكبر هي أن تنظر إلى هذا العجز بعجز، وأن تشعر بأنك غير قادر على شيءٍ حياله، ومن هنا فإن التعرف على ظروف تعلم العجز يعتبر أمراً ضرورياً جداً ، ولكنه لا يكفي، فبعد العلم بأمر العجز، ينبغي التعرف إلى كيفية الخروج منه، والتعامل معه
“Namun, kesulitan terbesar adalah anda menunggu kelemahan ini dengan kelemahan selanjutnya, dan merasa bahwa Anda tidak mampu melakukan apa pun. Oleh karena itu, mengenali kondisi yang menyebabkan kamu mengetahui kelemahan sangatlah penting. Namun hal itu saja tidak cukup, setelah mengetahui kelemahan, perlu diketahui cara untuk keluar dari situasi tersebut dan bagaimana menghadapinya.”
Hadis di atas memberikan solusi langkah-langkah untuk mengobati kelemahan diri, yaitu sebagai berikut:
Pertama, iman kepada Allah ta’ala.
Hadis ini diawali dengan menyebutkan sebuah sifat yang melekat pada seseorang, yaitu “mukmin” (orang yang beriman). Ini menunjukkan betapa pentingnya pengaruh iman kepada Allah dalam kehidupan seorang, sebagai manusia yang lemah dengan segudang kekurangan. Karena iman kepada Pencipta Al Qodir; yang maha kuasa, Al-Qowi; yang maha kuat, Al-‘Aziz; yang maha mulia, akan bertentangan dengan perasaan lemah dan menyerah. Iman kepada Allah adalah sumber kekuatan jiwa seorang mukmin.
Imam Ibnul Qoyyim -rahimahullah- mengatakan,
إن نفس الإيمان بالله تعالى وعبادته ومحبته
وإخلاص العمل له وإفراده بالتوكل عليه هو غذاء الإنسان وقوته وصلاحه وقوامه
“Iman pada Allahta’ala, ibadah kepada-Nya, cinta kepada-Nya,
keikhlasan dalam beramal karena-Nya, dan menggantungkan diri sepenuhnya (tawakal) pada-Nya adalah makanan dan kekuatan manusia,
serta kebaikan dan kekokohannya.” (Thoriqul Hijrotain hal. 101).
Iman kepada Allah akan mengkondisikan seorang bersikap husnuzon kepada Allah, sikap ini akan membangkitkan optimisme. Perasaan pesimis dan memandang masa depan dengan pandangan yang tidak cerah adalah komponen pokok yang ada di dalam sikap lemah. Maka sebaliknya, perasaan optimis, adalah obat yang paling bermanfaat menyembuhkan kelemahan jiwa. Cara berpikirnya seorang mukmin itu terinspirasi oleh hadis Qudsi,
أنا عند ظن عبدي بي
“Sikapku kepada hambaKu sebagaimana prasangkanya kepadaKu.” (HR. Muslim)
Tentu prasangka seorang mukmin kepada RobbNya selalu baik. Dan Allah maha kuasa atas sesuatu, tak ada sesuatu apapun di langit dan di bumi yang bisa melemahkanNya.
Kedua, menghargai diri.
Untuk sukses, seorang memerlukan penghargaan terhadap nilai dirinya, karena citra kita terhadap diri kita sendiri secara efektif berpengaruh terhadap kesuksesan kita. Setiap kecacatan dalam citra ini mendorong kita untuk salah menilai potensi, masa depan, dan ambisi kita, yang menghambat kemampuan kita untuk meraih yang terbaik (Abu Sa’ad, 1425/2004).
Melalui hadis di atas, Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- hendak menanamkan keyakinan yang positif kepada umatnya agar dapat menghargai dirinya sendiri. Beliau menggunakan narasi yang sangat menyentuh untuk mengokohkan keyakinan ini.
Lafad pertama yang disebut dalam hadis ini adalah المؤمن Al-Mukmin “orang yang beriman”. Karena kepercayaan diri orang yang beriman dibentuk oleh keimanannya kepada Allah, lalu imannya akan menuntunnya untuk mewujudkan penghambaan kepada Allah. Sumber kekuatannya hanya satu, yaitu Allah!
Lafad kedua adalah القوي Al-Qowi “yang kuat”. Imam An-Nawawi -rahimahullah- menerangkan,
المراد بالقوة هنا عزيمة النفس والقريحة فِي أمور الآخرة
“Yang dimaksud dengan kekuatan di sini adalah tekad dan semangat dalam urusan-urusan akhirat.”
Demikian pula tekad dan semangat dalam menggapai kesuksesan di dunia, sebagaimana ditunjukkan dalam sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-
احرص على ما ينفعك
“Bersungguh-sungguhlah dalam menggapai hal yang bermanfaat bagimu.”
Perintah ini mencakup menggapai perkara manfaat dalam hal agama atau duniawi.
Seorang yang kuat semangat, tekad dan prasangka positifnya kepada diri, tidak akan pernah menyerahkan hidupnya kepada kelemahan. Sebutan “Mukmin yang kuat” saja, itu telah mempengaruhi paradigma seseorang dalam membangun semangat dan percaya diri.
Lafad ketiga, خير إلى الله khoirun ilallah; lebih baik disisi Allah..
Yakni lebih sempurna, lebih mulia lebih membanggakan. Dalam pandangan siapa?
Dalam padangan Allah Sang Pencipta dan Robbnya.
Maka yang menilai lebih baik adalah Allah. Sungguh tak ada penggerak yang lebih berpengaruh membangun kuatnya tekad dan semangat daripada kemuliaan yang seperti ini!
Lafad keempat, أحب إلى الله ahabbu ilallah; lebih dicintai Allah…
Ini kemuliaan selanjutnya yang diberikan oleh Allah kepada mukmin yang kuat, bahwa kekuatan jiwanya akan mendatangkan kecintaan Allah padanya. Jika seorang hama telah dicintai Allah, maka Allah akan mudahkan segala urusannya. Kata-kata positif ini, “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah…” adalah penghargaan dari Allah bagi mukmin yang kuat. Dengan ini, penghargaan mukmin kepada dirinya sendiri suda pasti tercapai. Karena mukmin yang kuat, di saat ia meyakini penghargaan Allah kepadanya, akan termotivasi untuk sukses, berusaha keras, dan giat meraih hal-hal yang bermanfaat.”
Lalu sabda Nabi وفي كل خير wafi kullin khoir; pada masing-masing orang mukmin (kuat dan lemah) ada kebaikan. Agar tidak disalahpahami bahwa mukmin yang lemah tidak ada kebaikan sedikitpun. Mukmin yang lemah tetaplah ada kebaikan, ia lebih baik daripada orang kafir tentu saja.
Kalimat ini mengandung motivasi bagi mukmin yang lemah agar ia dapat menyusul mukmin yang kuat. Maksudnya, orang yang lemah tidak boleh tetap berada dalam kelemahannya dan merasa puas dengan ketidakberdayaannya. Iman adalah salah satu faktor terpenting untuk menghilangkan penyebab ketidakberdayaan.
Wallahul muwafffiq.
Referensi:
Al-‘Ajin, Ali bin Ibrahum (2021), Al-Arba’un At-Tatwiriyyah; 40 Haditsan fi Tatwir Az-Dzat wa Asbab An-Najah. Naqatech.
Ditulis oleh: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com