Melanjutkan pembahasan hadis ini; lanjutan dari tulisan sebelumnya di sini.
Dari Abu Hurairah Radiyallahu anhu ia berkata: Rasulullah -sallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
“اَلْمُؤْمِنُ اَلْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلىَ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِيْ كُلٍّ خَيْرٍ، اِحْرِصْ عَلىَ ماَ يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اللَّهُ وَماَ شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَـفْتَـحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ .
“Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun pada masing-masing (dari keduanya) ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah menggapai hal-hal yang bermanfaat untukmu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah. Jika kamu ditimpa sesuatu yang tak sesuai harapan, jangan katakan “aandai aku berbuat begin dan begitu, maka akan begini dan begitu. Tetapi katakanlah “Allah telah menakdirkan, dan karena kehendakNyalah hal ini terjadi”. Sebab kata ‘seandainya’ itu dapat membuka perbuatan setan.” (HR. Muslim)
______
Keenam, larangan menyalahkan diri atas apa yang sudah berlalu.
Nabi mengatakan,
وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا
“Seandainya aku melakukan ini, pasti akan terjadi begini dan begitu.”
Dalam riwayat lain,
فإن غلبك شيء
“Jika kamu kalah dalam perjuanganmu…”
Maksudnya setelah kamu berusaha dengan sekuat tenaga, berjuang keras, dan telah bersandar kepada Allah, maka kamu tidak bersalah karena telah melakukan apa yang diperintahkan. Namun, terkadang hasilnya bisa berbeda dari yang diharapkan seseorang, sehingga di saat seperti itu bisa saja seorang menyalahkan dirinya sendiri dengan mengatakan,
“Andai aku melakukan begini dan begitu…”
Ucapan seperti ini dilarang oleh Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-.
Ketujuh, beriman kepada takdir.
Seseorang mungkin bertanya dengan hati yang tersiksa oleh rasa sakit dan wajah yang diliputi oleh kesedihanو
“Aku sudah berusaha dengan sungguh-sungguh, berjuang keras, memohon pertolongan kepada Allah, dan berulang kali mencoba. Namun tetap saja gagal. Apakah aku memang tidak berdaya?!
Bukankah manusia memiliki keterbatasan dalam pemikiran, psikologi, dan fisik?!
Lantas apa yang harus kulakukan?!”
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidak akan bisa ditemukan jawaban dalam pandangan para ahli psikologi Barat yang materialistis. Namun, jawaban dari orang yang tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsunya, melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya adalah,
“Katakanlah:
QODDAROLLAH WA MASYAA-A FA’ALA
“Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki, Dia lakukan.”
Ini adalah ketentuan Allah, yaitu keputusan dan kehendak-Nya, dan apa yang Allah Yang Maha Mulia kehendaki, pasti Dia lakukan. Allah berfirman,
إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (QS. Hud: 107)
Tak ada sesuatu apapun yang dapat mencegah perbuatannya. Segala yang dikehendakiNya maka terjadi. Namun wajib kita ketahui bahwa Allah tidak akan berbuat kecuali berdasarkan hikmah, entah itu tampak dalam pandangan kita atau tersembunyi. Sebagaimana Allah katakan,
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Hikmah.” (QS. Al-Insan: 30)
Di dalam ayat ini diterangkan bahwa kehendak Allah bersamaan dengan hikmah dan ilmuNya (Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarah Riyadus Sholihin 1/403).
Rasulullah ﷺ mendorong untuk menerima takdir dan keputusan Allah dengan ikhlas, setelah berusaha sekuat tenaga dan melakukan segala upaya untuk mencapai manfaat. Jika seseorang mengalami sesuatu yang tidak disukainya, maka jangan nisbatkan pada tindakan yang meninggalkan berbagai sebab yang lain yang dirasa bisa memberikan manfaat. Terimalah takdir dan keputusan Allah agar keimanan semakin kuat, hati menjadi tenang, dan jiwa merasakan kedamaian. Karena kata “seandainya” dalam kondisi ini membuka jalan bagi setan untuk mengurangi keimanan pada takdir, menentang ketetapan-Nya, dan membuka pintu kecemasan dan kesedihan yang bisa melemahkan hati (As-Sa’di dalam Bahjah Al-Qulub Al-Abror, hal. 34).
Dengan pengobatan dari Nabi ini, jiwa menjadi tenang dan tentram, sehingga tidak ada kesedihan, kemurungan, atau kegelisahan.
Inilah salah satu cara terbaik untuk mendapatkan ketenangan hati.
Wallahul muwafffiq.
Referensi:
Al-‘Ajin, Ali bin Ibrahum (2021), Al-Arba’un At-Tatwiriyyah; 40 Haditsan fi Tatwir Az-Dzat wa Asbab An-Najah. Naqatech.
Ditulis oleh: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com