Pesan dari dauroh (Diklat para da’i) bersama Syaikh Prof Ibrahim bin Amir Ar Ruhaily -hafidzahullah- (ulama dari kota Madinah, pengajar di Universitas Islam Madinah dan Masjid Nabawi) di Pondok Pesantren Imam Bukhari Solo untuk para pendidik, bahwa mendidik adalah tugas dan tanggungjawab yang membutuhkan kesabaran lebih dari tugas dan tanggungjawab yang lain. Pendidik di sini mencakup: Ustadz/dai, guru atau orangtua.
Diantara upaya mendidik yang sangat membutuhkan kesabaran adalah, saat berinteraksi dengan murid atau masyarakat yang didakwahi. Salahsatu bentuk kesabaran dalam mendidik adalah bersabar terhadap kekurangan murid atau masyarakat dakwahnya saat mereka susah diajak untuk berubah atau meninggalkan kesalahan mereka. Jika menemukan hal seperti ini maka bersabarlah, jangan sampai mutung kemudian berhenti mendidik dengan alasan “muridku susah diubah, anakku susah dinasehati, masyarakatnya ngeyel-ngeyel.”
Ingat ikhtiyar Nabi Nuh ‘alaihissalam dalam mendidik umatnya, hingga 950 tahun. Nabi Ya’qub tak berhenti mendidik anak-anaknya hingga di hari-hari sakarotul maut beliau, Allah sampaikan ceritakan di dalam Al Qur’an:
أَمۡ كُنتُمۡ شُهَدَآءَ إِذۡ حَضَرَ يَعۡقُوبَ ٱلۡمَوۡتُ إِذۡ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعۡبُدُونَ مِنۢ بَعۡدِيۖ قَالُواْ نَعۡبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ ءَابَآئِكَ إِبۡرَٰهِـۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ وَإِسۡحَٰقَ إِلَٰهٗا وَٰحِدٗا وَنَحۡنُ لَهُۥ مُسۡلِمُونَ
“Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Yakub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.” (Surat Al-Baqarah: 133)
Coba kita merenungkan kisah Nabi Yunus ‘alaihis salaam, ketika beliau marah kepada kaumnya yang nyeyel, lalu pergi meninggalkan kaumnya dengan perasaan jengkel. Allah menceritakan kisah ini di dalam Al Qur’an
وَذَا ٱلنُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَٰضِبٗا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقۡدِرَ عَلَيۡهِ فَنَادَىٰ فِي ٱلظُّلُمَٰتِ أَن لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبۡحَٰنَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ
Ingatlah kisah Dzun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya, maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, “Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.” (Surat Al-Anbiya’: 87)
Kisah ini menunjukkan bahwa:
– mutung kepada murid yang bandel sampai putus asa mendidiknya adalah kesalahan. Oleh karenanya setelah bersikap seperti itu Nabi Yunus ‘alaihis salaam bertaubat kepada Allah dengan mengucapkan,
لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبۡحَٰنَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.”
– Nabi Yunus bertaubat dengan kalimat doa yang sangat dalam dan serius, dimana beliau memulai permohonan maafnya kepada Allah dengan kalimat tauhid dan pujian tasbih, lalu dilanjutkan dengan ungkapan mengaku salah. Ini menunjukkan bahwa kesalahan mendidik seperti ini adalah kesalahan yang beliau anggap besar dan serius.
@Pondok Pesantren Imam Bukhari Solo, 28 Jumadil akhir 1445 H.
Ditulis oleh: ahmadanshori.aan
Artikel: Remajaislam.com