Seorang Ustadz/Ulama menyampaikan suatu fatwa. Lalu dikemudian hari Sang Ustadz/Ulama merubah fatwanya. Seperti yang pernah terjadi di masa silam pada mazhab fikih Imam Syafi’i rahimahullah, ada fase Baghdad disebut mazhab qodim (mazhab lama), lalu saat berpindah domisili ke Mesir, terjadi perubahan fatwa, disebut mazhab jadid (mazhab baru). Bagaimana sikap yang tepat sebagai orang awam, apakah berlanjut berpegang pada fatwa pertama, atau mengikuti fatwa yang baru?
Masalah ini tak lepas dari dua keadaan:
- Sudah menjalankan fatwa pertama, maka sikap yang tepat adalah tetap berpegang pada fatwa yang awal.
- Belum menjalankan fatwa yang pertama, maka sikap yang tepat adalah mengikuti fatwa yang terbaru.
Sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin Abdul Aziz As-Syatsri -hafidzohullan-
لا يخلو من أحد أمرين: الأول قد عمل بالاجتهاد الأول، فحينئذ يجوز للعامي الاستمرار على الجتهاد الأول ولا يجب عليه العمل بالاجتهاد الجديد، لأن من القواعد المقررة أن الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد ومثل القاضي إذا حكم باجتهاده ثم تغير اجتهاده. والثاني ألا يكون العامي قد عمل بالاجتهاد الجديد دون الاجتهاد الأول
“Permasalahan ini tak lepas dari dua kemungkinan, pertama sudah mengamalkan fatwa yang awal, maka sikap yang tepat adalah tetap berpegang pada fatwa yang awal. Dia tidak wajib mengamalkan fatwa yang baru. Karena yang berlaku terkait hal ini adalah
الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد
“Ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh Ijtihad yang lain.”
Contohnya seorang Hakim Pengadilan yang telah memutuskan suatu perkara, lalu merubah keputusannya.
Kedua belum menjalankan fatwa yang pertama, maka sikap yang tepat adalah mengikuti fatwa yang terbaru.”
Selesai…
Referensi:
As-Syatsri, Sa’ad bin Nashir bin Abdul Aziz (1424H/2003M). Al-Qawa’id Al-Ushuliyyah Wal Fiqhiyyah Al-Muta’alliqoh Bil Muslimin Ghoir Al-Mujtahid. Penerbit Dar Isybilia. Riyadh-Saudi Arabia.
Penulis: Ahmad Anshori
Artikel: RemajaIslam.com