Makam mulia itu dulunya adalah rumah Aisyah -radhiyallahu ‘anha-. Pada bulan Rabiul Awal tahun 11 H, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam- wafat dan dimakamkan di rumah kecil berukuran 4,8mX4,7 m ini. Hal tersebut disebabkan karena para Nabi dimakamkan di tempat di mana mereka meninggal dunia. Saat itu rumah tersebut masih terpisah dari masjid di sebelah timur.
Ketika Abu Bakar -radhiyallahu ‘anhu- wafat tahun 13 H, beliau dikuburkan di samping Nabi dengan posisi kepala sejajar dengan pundak Nabi.
Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhu- wafat tahun 23 H dan dikuburkan disamping Abu Bakar sejajar dengan kaki Nabi, maka mulai saat itu Aisyah memasang pembatas antara kuburan tersebut dan tempat tidurnya sampai beliau wafat tahun 57 H.
Pada masa pemerintahan Al-Walid bin Abdul malik [69 H], di saat tidak ada lagi shahabat Nabi yang tersisa di kota Madinah, dilakukan perluasan di semua penjuru masjid yang mengharuskan rumah Aisyah masuk dalam bangunan masjid, tetapi diberi batas tembok segitiga agar tidak persis menghadap kuburan ketika shalat.
Pada tahun 557 H ada upaya Nasrani untuk mengambil jasad Nabi, namun digagalkan oleh Nuruddin Zanki dan dibuat pagar timah di sekelilingnya. Sekarang kamar Nabawi ini dibuatkan dinding khusus dan kubah berwarna hijau. di atasnya ada
Pelajaran dari Raudhah
Bagi pengunjung masjid Nabawi disunnahkan untuk memberi salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam- langsung dengan lafal, “Assalamu alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakatuh.”, juga salam kepada Abu Bakar dan Umar – radhiyallahu ‘anhuma-.
Allah dan RasulNya memerintahkan umatnya agar memperbanyak shalawat kepada beliau di manapun kita berada. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)
Generasi awal umat ini tidak pernah merintih di kuburan Nabi, tidak pula meminta sesuatu kepadanya.
Makam orang-orang tercinta ini sudah seharusnya memotivasi kita untuk mengkaji sirah/perjalanan hidup mereka dan meneladaninya, jika benar kita mengaku mencintai mereka.
Referensi:
Ketika Tanah Suci Berbicara (1435H). Indonesian Community Care Center. Penerbit Maktabah An-Nashim: Riyadh – Saudi Arabia.
Editor : Ahmad Anshori
Artikel : RemajaIslam.com