Fikih I’tikaf #7
Ibadah I’tikaf boleh dilakukan kapan saja, siang maupun malam, Ramadhan atau di luar Ramadhan, disertai puasa ataupun tidak.
Dalilnya adalah hadis yang mengisahkan tentang ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu saat bertanya kepada Nabi Muhammad -shallallahu’alaihi wa sallam- :
كنت نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام؟ قال : فأوف بنذرك ، فاعتكف ليلةً
“Saya pernah bernazar di masa jahiliah, bahwa saya akan melakukan i’tikaf selama satu malam di Masjidil Haram.
Beliau bersabda, “Kalau begitu tunaikan nazarmu.”
Lalu Umar pun melakukan i’tikaf satu malam.” (HR. Bukhari).
Dan Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- penah melakukan I’tikaf di bulan Syawal. Sebagaimana diterangkan di dalam hadis dari Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّى الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ ، فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ
أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً فَأَذِنَتْ لَهَا ، فَضَرَبَتْ خِبَاءً ، فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ ، فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – رَأَى الأَخْبِيَةَ
فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَأُخْبِرَ فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « آلْبِرُّ تُرَوْنَ بِهِنَّ » . فَتَرَكَ الاِعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Aku mendirikan tenda untuk beliau. Kemudian beliau melaksanakan shalat Subuh dan memasuki tenda tersebut. Hafshah meminta izin pada ‘Aisyah untuk mendirikan tenda, ‘Aisyah pun mengizinkannya. Ketika Zainab binti Jahsy melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf dalam tenda, ia meminta untuk didirikan tenda, lalu didirikanlah tenda yang lain. Di saat waktu Subuh tiba, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihat banyak tenda di masjid.
Pemandangan itu membuat beliau bertanya, “Ini apa ya?”
Beliau lantas diberitahu dan beliau bersabda, “Apakah kebaikan yang kalian inginkan dari ini?”
Beliau meninggalkan i’tikaf pada bulan Ramadhan kala itu. Lalu beliau menggantinya dengan beri’tikaf pada sepuluh hari bulan Syawal.” (HR. Bukhari no. 2033).
Makna dari komentar Nabi “Apakah kebaikan yang kalian inginkan dari ini?”, seakan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- khawatir bila motif dari para istri Nabi memasang tenda di masjid itu adalah untuk saling bangga-bangaan atau karena kecemburuan mereka saja sheingga mereka berusaha berada paling dekat dengan Nabi, atau beliau khawatir nanti ditiru oleh jamaah wanita lainnya sehingga masjid akan penuh dengan tenda dan akan mengganggu orang yang shalat.” (Al-Mausu’ah Al-Haditsiyyah Ad Duror As-Suniyyah).
Namun melakukannya di waktu-waktu yang unggul seperti sepuluh hari terakhir Ramadhan itu lebih afdol. Karena untuk mengejar keutamaan malam Lailatul Qodar.
—
References:
Al-Jibrin, Abdullah bin Abdulaziz (1440H). Tashil Al-Fiqhi Al-Jami’ Li masail Al-Fiqhi Al-Qodimah wal Mu’ashiroh. Penerbit Dar Ibnul Jauzi: Dammam – Saudi Arabia.
Salim, Abu Malik Kamal bin As-Sayid (2010). Shahih Fiqhus Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhih mahzahib Al-Aimmah. Penerbit Dar At-Taufiqiyyah At-Turots: Kairo – Mesir.
21 Ramadhan 1444 H, di Kampoeng Santri Wirokreten Jogja.
Penulis : Ahmad Anshori
Artikel : RemajaIslam.com