Bismillah…
Ilmu syar’i yang hari ini kita nikmati lewat ceramah YouTube, kajian di masyarakat, atau Q\&A di masjid tidak turun dari langit dalam paket siap saji. Ada ribuan santri di pesantren, mahasiswa penuntut ilmu keislaman yang hidup pas‑pasan, bahkan ada juga pekerja yang resign demi fokus belajar. Tanpa dukungan, mereka rawan berhenti di tengah jalan: kehabisan biaya pendidikan, biaya beli kitab, makan tak tercukupi, atau harus pulang kampung cari kerja lepas.
Status para penuntut ilmu
Rasulullah ﷺ menobatkan ulama sebagai pewaris nabi; bukan pewaris dinar atau dirham, melainkan ilmu.
إن العلماء ورثة الأنبياء، إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambilnya, berarti dia telah mengambil bagian yang banyak.”
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi).
Landasan syar’i untuk mendanai mereka
Dalam QS At‑Taubah : 60, golongan fi sabilillah berhak atas zakat; banyak ulama (Imam Nawawi, Ibnu Taimiyah, dll.) memasukkan thalibul ilmi ke dalamnya, apalagi bila belajar ilmu agama sampai mengorbankan waktu bekerja.
Ini ayatnya..
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (muallaf), untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah (fi sabilillah), dan untuk ibnu sabil (musafir) sebagai kewajiban dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)
Terus ini penjelasan Imam Nawawi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah:
Imam Nawawi berkata:
وَلَوْ قَدَرَ عَلَى كَسْبٍ يَلِيقُ بِحَالِهِ إلا أَنَّهُ مُشْتَغِلٌ بِتَحْصِيلِ بَعْضِ الْعُلُومِ الشَّرْعِيَّةِ بِحَيْثُ لَوْ أَقْبَلَ عَلَى الْكَسْبِ لانْقَطَعَ مِنْ التَّحْصِيلِ حَلَّتْ لَهُ الزَّكَاةُ , لأَنَّ تَحْصِيلَ الْعِلْمِ فَرْضُ كِفَايَةٍ
“Jika seseorang menyibukkan diri dengan menuntut ilmu agama hingga tak sempat mencari nafkah, maka boleh baginya menerima zakat.” (Al-Majmu’)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga menegaskan:
يَجُوزُ أَخْذُهُ مِنْ الزَّكَاةِ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ مِنْ كُتُبِ الْعِلْمِ الَّتِي لا بُدَّ لِمَصْلَحَةِ دِينِهِ وَدُنْيَاهُ مِنْهَا
“Boleh baginya mengambil dari zakat untuk membeli buku-buku ilmu yang diperlukan demi kemaslahatan agama dan dunianya.” (Majmu’ al-Fatawa)
Risiko kalau diabaikan….
Rantai estafet dakwah bisa putus: tak ada pengajar baru, literasi agama stagnan, masyarakat kehilangan rujukan di tengah banjir informasi.
Ini Solusinya
1. Salurkan zakat atau beasiswa langsung ke penuntut ilmu.
2. Cover kebutuhan mendasar: asrama, makan, buku digital/fisik, UKT kuliah atau biaya pendidikan.
3. Bangun culture apresiasi: doakan, sebut mereka saat kampanye sosial, ajak kolaborasi dakwah digital.
4. Transparansi & akuntabilitas: pakai platform donasi yang laporannya rutin dan mudah diakses.
Kesimpulan
Ilmu adalah cahaya, tetapi minyak pelitanya tetap harus dibeli. Jika kita ingin generasi berikutnya mengenal agama dengan dalil kuat, tugas kita hari ini simpel: dukung mereka yang tengah menyiapkan bahan bakarnya. Investasi di penuntut ilmu bukan sekadar sedekah; itu tabungan pahala jangka panjang untuk peradaban. Jadi, yuk, bantu jaga lentera ilmu tetap menyala!