Fikih I’tikaf #11
Belum genap sepuluh hari ingin membatalkan I’tikaf, bagaimana hukumnya?
Kalau I’tikafnya adalah I’tikaf wajib (I’tikaf Nazar), lalu dibatalkan tanpa uzur yang dimaklumi oleh agama, maka hukumnya haram. Karena Allah ta’ala mengatakan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul. Dan jangan kalian batalkan ibadah-ibadah kalian. (QS. Muhammad: 33)
Makna larangan pada ayat ini adalah haram, karena hukum asal larangan bermakna haram (Fatwa Darul Ifta’ Al-Mishriyyah no. 130).
Adapun jika I’tikafnya adalah I’tikaf sunnah, maka tidak mengapa, tidak berakibat dosa atau tidak ada tanggungan menqodho’. Karena ibadah yang sunnah tak ada keharusan menyempurnakan, kecuali ibadah haji atau umrah.
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah membatalkan I’tikaf yang sunnah. Sebagaimana diterangkan di dalam hadis dari Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّى الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ ، فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً فَأَذِنَتْ لَهَا ، فَضَرَبَتْ خِبَاءً ، فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ ، فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – رَأَى الأَخْبِيَةَ فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَأُخْبِرَ فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « آلْبِرُّ تُرَوْنَ بِهِنَّ » . فَتَرَكَ الاِعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Aku mendirikan tenda untuk beliau. Kemudian beliau melaksanakan shalat Subuh dan memasuki tenda tersebut. Hafshah meminta izin pada ‘Aisyah untuk mendirikan tenda, ‘Aisyah pun mengizinkannya. Ketika Zainab binti Jahsy melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf dalam tenda, ia meminta untuk didirikan tenda, lalu didirikanlah tenda yang lain.
Di saat waktu Subuh tiba, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihat banyak tenda di masjid.
Pemandangan itu membuat beliau bertanya, “Ini apa ya?”
Beliau lantas diberitahu dan beliau bersabda, “Apakah kebaikan yang kalian inginkan dari ini?”
Beliau meninggalkan i’tikaf pada bulan Ramadhan kala itu. Lalu beliau menggantinya dengan beri’tikaf pada sepuluh hari bulan Syawal.” (HR. Bukhari no. 2033).
Sebagaimana Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga pernah membatalkan puasa sunah. Dikisahkan oleh Ibunda Aisyah -radhiyallahu’anha-, bahwa suatu hari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menemui beliau kemudian bertanya,
هل عنكم من شيء؟
“Apa ada yang bisa dimakan?”
“Lalu aku suguhkan kepada beliau makanan hais (yaitu kurma yang bercampur minyak samin).” Kata Aisyah.
Kemudian Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata,
لقد أصبحت صائما
“Tadi pagi aku puasa.”
Lalu Nabi makan.” (HR. Muslim, no. 1154).
References:
Al-Jibrin, Abdullah bin Abdulaziz (1440H). Tashil Al-Fiqhi Al-Jami’ Li masail Al-Fiqhi Al-Qodimah wal Mu’ashiroh. Penerbit Dar Ibnul Jauzi: Dammam – Saudi Arabia.
Salim, Abu Malik Kamal bin As-Sayid (2010). Shahih Fiqhus Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhih mahzahib Al-Aimmah. Penerbit Dar At-Taufiqiyyah At-Turots: Kairo – Mesir.
29 Ramadhan 1444 H, di Tegalwaton, Kab. Semarang.
Penulis : Ahmad Anshori
Artikel : RemajaIslam.com