Bismillah…
Imam Syafi’i -rahimahullah- pernah mengatakan,
ما ناظرتُ أحدًا قطُّ إِلَّا أحببتُ أن يوفَّق ويُسدَّد ويُعان، ويكون عليه رعاية من الله وحفظ، وما
ناظرتُ أحدًا إِلَّا ولم أبالِ بيَّن الله الحق على لساني أو لسانه
“Aku tidak pernah berdiskusi dengan siapapun kecuali aku senang jika lawan diskusiku mendapat taufik, pertolongan dan penjagaan dari Allah. Aku tidak pernah berdiskusi kecuali aku tak perduli apakah Allah akan menjelaskan kebenaran melalui lisanku atau melalui lisannya.” (Hilyatul Auliya’, 9/116)
Pernyataan ini mengandung etika dan prinsip yang amat luhur di dalam berdiskusi, yaitu tentang ketulusan hati dan kebersihan hati di dalam berdiskusi, untuk semata-mata menemukan keberan.
Sehingga…
Diskusi bukan panggung untuk merendahkan yang kalah, tapi untuk merangkul saudara kita dengan penuh kepedulian dan kasih sayang, agar bersama-sama berada di dalam kebenaran.
Diskusi bukan panggung untuk menampakkan kecerdasan atau kepiawian retorika, karena agama ini bukan milik mereka yang cerdas dan pandai merangkai kata, agama ini milik orang-orang yang jujur kepada Allah, tulus hanya ingin mengikuti kebenaran.
Diskusi bukan panggung untuk mengeskpresikan kesombongan dan hasrat egoisme, namun diskusi hendaknya berangkat hati yang lapang, jauh dari kesombongan, berangkat dari niat, “mungkin pemahamnku yang salah, dia yang benar, aku ingin mencari kebenaran.” Dalam sebuah ungkapan yang terkenal dinisbatkan kepada Imam Syafi’i -rahimahullah-, beliau pernah mengatakan,
قولي صواب يحتمل الخطأ، وقول غيري خطأ يحتمل الصواب
“Ucapanku jika benar, maka berpotensi salah (dalam permasalahan ijtihad, pen.), adapun ucapan orang lain jika salah, maka berpotensi benar.”
Wallahulmuwaffiq..
Ditulis oleh: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com