Pada tulisan sebelumnya, telah dibahas tentang bahaya sifat sombong. Selanjutnya kita berbicara tentang dua jenis kesombongan, bahwa sombong ada dua macam yaitu:
- Menolak kebenaran.
- Merendahkan orang lain.
Dua jenis sombong ini disampaikan oleh Nabi -shallallahu’alaihiwasallam- di dalam sabdanya:
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sombong adalah menolak kebenaran merendahkan manusia.” (HR. Muslim)
Menolak kebenaran maksudnya tidak menerimanya, dan merasa lebih tinggi dari kebenaran yang disampaikan.
Meremehkan orang maknanya penghinaan, perendahan kepada orang lain.
Syekh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah menerangkan dua model sombong yang disebutkan dalam hadis tersebut:
وبهذا التفسير الجامع الَّذِي ذكره النَّبِيُّ يتضح هذا المعنى غاية الاتضاح؛ فإنه جعل الكبر نوعين:
كبر النوع الأول: على الحق، وهو ردُّه وعدم قبوله. فكُلُّ مَن ردَّ الحقِّ؛ فإِنَّه مستكبر عنه بحسب ما ردَّ مِنَ الحقِّ . وذلك أنه فرض على العباد أن يخضعوا للحق الذي أرسل الله به رسله، وأنزل به كتبه.
فالمتكبرون عن الانقياد للرُّسُل بالكلية كُفَّارٌ مُخَلَّدُونَ فِي النَّارِ؛ فَإِنَّه جَاءَهم الحق على أيدي الرُّسُل مؤيَّدًا بالآيات والبراهين. فقام الكبر في قلوبهم مانعا، فرَدُّوه. قال تعالى: ﴿وإِنَّ الَّذِينَ يُجدِلُونَ فِي ايتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَيْنِ أَنَّهُمْ إِن في صُدُورِهِمْ إِلَّا كِبَرُ مَا هُم بِلِغِيهِ ﴾ [غافر : ٥٦]
وأمَّا المُتكبرون عن الانقياد لبعض الحقِّ الَّذِي يخالف رأيهم وهواهم: فهم – وإن لم يكونوا كُفَّارًا – فإنَّ معهم من موجبات العقاب بحسب ما معهم من الكير وما تأثرُوا به من الامتناع عن قبول الحَقِّ الَّذِي تبين لهم بعد مجيء الشَّرع به، ولهذا أجمع العلماء أنَّ من استبانت له سُنَّة رسول الله لم يحل له أن يعدل عنها تقول أحدٍ كائناً مِنَ النَّاسِ مَن كان.
وأما الكبر على الخلق وهو -النوع الثاني- فهو غمطهم واحتقارهم وذلك ناشئ عن عجب الإنسان بنفسه وتعاظمه عليه، فالعجب بالنفس يحمل على التكبر على الخلق واحتقارهم والاستهزاء بهم وتنقيصهم بقوله وفعله))
“Penafsiran Nabi tentang sombong ini amat sempurna, menjadikan pemahaman terhadap makna sombong menjadi sangat jelas. Beliau menjadikan kesombongan menjadi dua jenis:
Yang pertama, sikap arogansi terhadap kebenaran, yang mencakup penolakan alias tidak mau menerima.
Setiap orang yang menolak kebenaran, dia sedang bersikap sombong, kadar besar kecilnya kesombongam sesuai dengan kadar penolakannya terhadap kebenaran tersebut. Hal ini karena diharapkan dari setiap hamba untuk patuh terhadap kebenaran yang Allah sampaikan melalui rasul-Nya dan wahyu-Nya dalam kitab-kitab-Nya.
Mereka yang menunjukkan sikap sombong dengan menolak sepenuhnya ajaran Rasul dianggap sebagai kafir yang akan menghuni Neraka selamanya. Meskipun kebenaran disampaikan kepada mereka melalui para Rasul dengan dukungan tanda-tanda dan bukti yang jelas, namun kesombongan muncul dalam hati mereka sebagai penghalang, sehingga mereka menolaknya. Allah ta’ala menyatakan,
وإِنَّ الَّذِينَ يُجدِلُونَ فِي ايتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَيْنِ أَنَّهُمْ إِن في صُدُورِهِمْ إِلَّا كِبَرُ مَا هُم بِلِغِيهِ
“Orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa otoritas, sesungguhnya di dalam dada mereka tidak lain hanyalah keangkuhan atas apa yang mereka berbakti.” (Ghafir: 56)
Adapun orang yang sombong dalam pada sebagian kebenaran, karena tidak sesuai dengan pandangan dan keinginannya, meskipun tidak sampai dihukumi kafir, mereka telah menerjang sebab-sebab datangnya hukuman Allah, yang sesuai dengan kadar kesombongan yang ada dan kadar penolakannya terhadap kebenaran yang telah jelas. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa bila hadis-hadis Rasulullah telah sampai pada siapapun dia, maka tidaklah halal baginya untuk beralih memilih pandangan yang lain sebagai pijakan.
Jenis kedua, sombong kepada makhluk.
Ini mencakup sikap merendahkan dan meremehkan makhluk tersebut. Sikap ini muncul karena seseorang merasa bangga (ujub) kepada dirinya dan menyombongkan diri. Sifat ujubnya seseorang akan tercermin dalam perilaku meremehkan dan mengolok-olok orang lain dengan kata-kata atau tindakan.
Dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad, ada riwayat dengan derajat sanad yang Hasan
قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا الشِّرْكُ قَدْ عَرَفْنَاهُ، فَمَا الْكِبْرُ ؟ هُوَ أَنْ يَكُونَ لأَحَدِنَا حُلَّةٌ يَلْبَسُهَا؟ قَالَ: «لا»، قِيلَ: «فَهُوَ أَنْ يَكُونَ لِأَحَدِنَا نَعْلَانِ حَسَنَتَانِ لَهُمَا شِرَاكَانِ حَسَنَانِ؟ قَالَ: «لا»، قَالَ: فَهُوَ أَنْ يَكُونَ لِأَحَدِنَا دَابَّةٌ يَرْكَبُهَا؟ قَالَ: «لا»، قَالَ: «فَهُوَ أَنْ يَكُونَ لِأَحَدِنَا أَصْحَابٌ يَجْلِسُونَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: «لا»، قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَمَا الْكِبْرُ؟» قَالَ: «سفَهُ الْحَقُّ، وَغَمْصُ النَّاسِ» .
Bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah,
“Ya Rasulallah, tentang syirik kami telah mengetahui, namun tentang sombong, apa gerangan kesombongan itu? Apakah sombong itu seseorang yang mengenakan pakaian mewah?
“Bukan itu.” Jawab Nabi.
Orang ini bertanya kembali, “Ataukah seorang yang memiliki sepatu yang bagus?”
Nabi menjawab, “Bukan..”
“Atau seorang yang memiliki hewan tunggangan?”
Nabi menjawab, “Bukan..”
“Ataukah seorang yang memiliki teman yang mendampingi?”
Nabi menjawab, “Bukan..”
Kemudian orang tersebut bertanya kembali, “Lantas apa yang dimaksud sombong itu?”
Beliau menjelaskan, “Sombong adalah merendahkan kebenaran dan meremehkan orang lain.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sombong terdiri dari dua jenis:
Pertama, menolak kebenaran meskipun kebenaran telah sangat nyata tampaknya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits di Sahih Muslim:
«أَنَّ رَجُلًا عِندَ رَسُولِ اللهِ أَكَلَ بِشِمَالِهِ، فَقَالَ رسول الله : «كُلْ بِيَمِينِكَ، قَالَ: «لَا أَسْتَطِيعُ»، قَالَ النَّبِيُّ عليه الصلاة والسلام: «لَا اسْتَطَعْتَ، مَا مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ، فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فيه
Ada seorang yang makan dengan tangan kirinya. Lalu mendapatkan teguran dari Rasulullah. Kemudian orang tersebut menjawab,”Aku tak bisa makan dengan tangan kanan.”
Rasulullah berkata, “Kalau begitu kamu benar-benar tidak akan mampu. Allah-lah yang menghalanginya.” (HR. Muslim)
Ini mencerminkan kesombongan, yang menjadi sumber ketidakmampuan untuk menerima kebenaran.
Kedua, keburukan dan dosa lahir dari kesombongan, membuat seseorang menolak kebenaran dan tidak mampu menerimanya. Banyak perbuatan yang muncul dari kesombongan, dan orang yang terjerumus ke dalamnya biasanya dikendalikan oleh kesombongan yang tumbuh dalam hatinya.
وفي قول النبي عليه الصلاة والسلام في الحديث المُتَقَدِّم: «لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبرٍ»، ما يدلُّ على أنَّ الكبر خصلة تقوم في القلب ثم من بعد ذلك تظهر على الجوارح آثارها، وآثارها كما تقدم تتلخص في رد الحق وغمط الناس؛ ازدراء لهم وتعاليا عليهم ورؤية نفسه فوقهم عاليا.
Dalam hadits yang disebutkan di atas, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyatakan,
«لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبرٍ»
“Tidak akan masuk surga siapa pun yang dalam hatinya ada kesombongan seberat atom.” (HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa kesombongan merupakan sifat yang tumbuh di dalam hati. Lalu akan tercermin dalam tindakan yang tampak, dengan sikap menolak kebenaran dan merendahkan masyarakat. Seseorang yang sombong meremehkan dan merendahkan orang lain, sambil memandang dirinya lebih baik dari mereka.
Kemudian hukuman yang akan menimpa orang yang sombong, sejenis dengan kesombongannya. Karena hukuman akan sejenis dengan dosa yang dikerjakan. Sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Tirmidzi, Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam menyatakan bahwa
يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ القِيَامَةِ أَمْثَالَ الذَّرِّ فِي صُورِ الرِّجَالِ، يَغْشَاهُمُ الذل مِنْ كُلِّ مَكَان
“Pada hari kiamat, orang-orang sombong akan dikumpulkan seperti atom dalam gambaran manusia, dan kehinaan akan menyelimuti mereka dari segala arah.” (HR. At-Tirmidzi).
Referensi:
Al-Badr, Abdurazzaq bin Abdulmuhsin, (1444H). Ahadits Ishlah Al-Qulub, Dar Imam Muslim, Madinah, Saudi Arabia.
Penterjemah: Ahmad Anshori
Copyright RemajaislamCom