Setiap memasuki musim puasa Arafah selalu terjadi perdebatan apakah puasa Arafah mengikuti hari wukufnya jama’ah haji di padang Arafah, ataukah mengikuti penanggalan hilal di masing-masing negara?
Kedua pendapat ini adalah pendapat yang memiliki dasar ilmiyah, dan ada ulama yang menjadi pegangan. Yang memilih puasa Arafah mengikuti hari wukuf di Arafah beralasan karena penisbatan kata shiyam (puasa) kepada kata arafah mengandung makna sebab dan akibat. Artinya terjadinya wukuf jama’ah haji di padang Arafah adalah sebab adanya sunah puasa Arafah. Sementara Arafah di dunia ini hanya ada satu tempat, yaitu di Makkah, Saudi Arabia. Sehingga waktu puasa Arafah mengikuti perhitungan hilalnya Saudi Arabia bukan masing-masing negara.
Namun penulis merasa lebih tentram dengan pandangan fikih yang menyatakan puasa Arafah mengikuti perhitungan hilal masing-masing negeri, bukan mengikuti hari wukufnya jama’ah haji di Arafah. Alasannya adalah berikut ini:
Pertama, Allah menjelaskan bahwa hilal sebagai patokan waktu untuk menentukan bulan dan sebagai penunjuk waktu haji.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: “Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntun. (QS. Al-Baqarah: 189)
Maka sebagaimana hilal menjadi acuan dalam menentukan bulan-bulan haji di Saudi Arabia, maka hilal juga menjadi acuan menentukan bulan-bulan mulia tersebut di negeri Islam di penjuru dunia. Termasuk di dalamnya dalam mentukan tanggal 9 Dzulhijah sebagai waktu puasa Arafah di masing-masing negeri. Jika H-1 hari raya Idul Adha di Saudi Arabia adalah hari Arafah, maka ini juga menunjukkan bahwa H-1 tibanya Idul Adha (10 Dzulhijah) selain di Saudi Arabia juga sebagai hari Arafah untuk masing-masing negara tersebut.
Kedua, Diantara karakteristik agama Islam adalah agama yang relevan di sepanjang zaman dan tempat. Hukum-hukum dan aturan-aturannya dapat diamalkan kapanpun dan dimanapun. Karena Islam sebagai agama fitrah.
Jika waktu puasa Arafah adalah hari wukufnya jama’ah haji di padang Arafah, maka bagaimana cara kaum muslimin yang hidup 1000 tahun lalu, 5000 tahun lalu , 10.000 tahun yang lalu mengetahui wukufnya jama’ah haji di padang Arafah. Zaman di saat internet dan sosmed belum terlahir di muka bumi?! Tentu tidak mungkin puasa Arafah hanya untuk manusia yang hidup di zaman teknologi seperti saat ini, yang informasi bisa diketahui secara realtime. Tidak untuk kaum muslim yang hidup di zaman dahulu, zaman penyebaran informasi sangat lambat.
Ketiga, tidak menutup kemungkinan jika suatu kesempatan kaum muslimin tidak dapat melakukan wukuf di padang Arafah, meski kita berharap semoga hal seperti ini tidak terjadi. Namun probabilitas/kemungkinan itu ada. Jika itu terjadi, Arafah kosong dari jama’ah haji yang berwukuf. Apakah lantas puasa Arafah juga tidak boleh dilakukan karena sebab yang tidak ada?!
Keempat, hadis Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- tentang larangan memotong kuku dan rambut bagi yang berniat bekurban, mulai tanggal 1 Dzulhijah.
إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئً
“Jika telah masuk 10 hari pertama dari Dzulhijah dan salah seorang di antara kalian berkeinginan untuk berkurban, maka janganlah ia menyentuh (memotong) rambut kepala dan rambut badannya (diartikan oleh sebagian ulama: kuku) sedikit pun juga.” (HR. Muslim no. 1977)
Hadis ini secara jelas menunjukkan bahwa hilal di masing-masing negara sebagai acuan dalam menentukan masuknya bulan suci Dzulhijah. Karena Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- mengaitkan larangan memotong kuku dan rambut bagi shohibul kurban pada terlihatnya hilal Dzulhijah. Hal ini juga menunjukkan bahwa waktu puasa Arafah adalah tanggal 9 Dzulhijah yang dientukan berdasarkan perhitungan hilal di masing-masing negara, bukan wukufnya jama’ah haji di Makkah.
Diantara ulama kontemporer yang memilih pendapat fikih bahwa puasa Arafah mengikuti observasi hilal masing-masing negara adalah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullah-:
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin pernah ditanya, “Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arafah disebabkan perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah. Apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah mengikuti ru’yah Haromain (dua tanah suci)?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Permasalahan ini adalah turunan dari perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. (Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20: 47-48, dikutip dari rumaysho.com).
Wallahua’lam bis showab.
Penulis: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com