Bismillah…
Bayangkan seseorang yang baru pertama kali bertemu dengan Nabi Muhammad ﷺ. Ia gugup. Tubuhnya bergetar. Mungkin karena selama ini, ia membayangkan sosok Nabi seperti raja-raja yang agung, angkuh, dan menakutkan. Tapi Nabi ﷺ, dengan senyum lembut dan suara menenangkan, berkata:
هَوِّنْ عَلَيْكَ، فَإِنِّي لَسْتُ بِمَلِكٍ، إِنَّمَا أَنَا ابْنُ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ كَانَتْ تَأْكُلُ الْقَدِيدَ
“Tenanglah. Aku bukan raja. Aku hanyalah anak dari seorang wanita Quraisy yang biasa makan daging kering (qadid).”
(HR. al-Albani, Silsilah Shahihah no. 1876, sanadnya sahih mursal)
Bayangkan lagi. Seorang manusia yang dimuliakan langit, diturunkan wahyu padanya, dan dicintai jutaan orang, justru berkata bahwa ia hanyalah anak dari wanita biasa yang makan makanan sederhana. Betapa rendah hatinya beliau. Betapa jauh beliau dari sifat angkuh dan haus pujian.
Nabi ﷺ tidak membangun jarak. Tidak menampakkan sikap sok penting. Beliau tidak duduk di singgasana tinggi dengan wajah kaku, melainkan hadir di tengah-tengah manusia dengan ketulusan. Dan inilah pelajaran besar bagi kita semua, terutama anak muda yang kadang tanpa sadar terjebak dalam pencitraan, status sosial, dan gengsi buatan.
Di dunia hari ini, banyak orang berlomba terlihat hebat, tampil sempurna, dan membuat orang lain merasa kecil. Tapi lihatlah Rasulullah ﷺ manusia terbaik sepanjang zaman, ia justru berkata: “Aku bukan raja. Aku hanya anak dari seorang wanita Quraisy biasa.”
Itu bukan kalimat merendah untuk meroket. Itu adalah puncak kemanusiaan yang utuh. Nabi ﷺ tidak hanya mengajarkan akidah dan ibadah, tapi juga seni menjadi manusia: lembut, jujur, dan membumi.
Dan saat sahabat itu ketakutan, Rasulullah ﷺ tidak memarahinya, tidak menyuruhnya “jangan lebay”, tidak berkata “cuek aja”. Beliau justru menghiburnya dengan kalimat yang membuat hati tenang. Sebuah pelukan dalam bentuk kata.
Sahabat muda, dunia ini butuh lebih banyak pribadi seperti Nabi ﷺ. Bukan orang yang sibuk memperlihatkan status, tapi orang yang bisa membuat orang lain merasa aman, tenang, dan dihargai.
Jadi, apa yang bisa kita tiru dari kisah ini?
Bersikap lembutlah, meski kamu punya kekuatan untuk bersikap keras.
Jangan merasa tinggi, meski orang lain memujimu setinggi langit.
Jadilah orang yang kehadirannya melegakan, bukan menegangkan.
Dan saat kamu punya ilmu, posisi, atau pengaruh jangan gunakan untuk membuat orang kagum, tapi gunakan untuk membuat orang berani mendekat dan tumbuh bersamamu.
Karena pada akhirnya, bukan gelar yang akan diingat orang, tapi kebaikan yang kamu beri saat mereka sedang gemetar di depanmu. Seperti yang dilakukan Nabi ﷺ. Seperti pelajaran yang beliau wariskan kepada kita semua.