Bismillah…
Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya berjudul Kapan Mengingkari Kesalahan dengan Tangan?
Setelah tahapan pertama dalam merespon kemungkaran, yaitu mengingkari dengan tangan, tahapan selanjutnya adalah mengingkari dengan lisan lalu selanjutnya dengan hati. Sebagaimana tersebut di dalam hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallallahu’anhu-, beliau pernah mendengar Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطعْ فَبِقَلبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإيْمَانِ
“Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya dia ubah dengan tangannya (kekuasaannya). Kalau dia tidak mampu hendaknya dia ubah dengan lisannya dan kalau dia tidak mampu hendaknya dia ingkari dengan hatinya. Dan inilah selemah–lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Kedua, Mengingkari dengan Lisan
Meningkari dengan lisan dilakukan di saat seorang tidak mampu mengingkari dengan tangan, sebagaimana diterangkan di dalam hadis di atas.
Lalu para ulama telah meringkaskan sejumlah tahapan dalam upaya mengingkari kemungkaran dengan tangan:
Pertama, menjelaskan masalah dengan kelembutan.
Yaitu dengan menjelaskan hukum syariat terkait masalah yang sedang dihadapi, apakah haram, apakah halal. Karena bisa jadi seorang terjatuh di dalam kesalahan dalam keadaan dia tidak tahu dan tidak menyadari kalau perbuatannya itu salah.
Diantara dalil yang menguatkan bahwa dalam mengingkari dengan lisan harus diawali dengan tahapan ini adalah sebagai berikut:
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah mengingkari Mu’adz bin Jabal saat ia sujud kepada Nabi.
فلا تفعلوا فإني لو كنت آمرا أحدا أن يسجد لغير الله لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها
“Jangan lakukan ini hai Mu’adz, andaikan aku perintahkan manusia untuk sujud selain kepada Allah, maka akan aku perintahkan wanita untuk sujud kepada suaminya.” (HR. Ibnu Majah 1/595, Ahmad 32/145 dan yang lainnya)
Kemudian pengingkaran Nabi kepada budak perempuan yang membacakan syair di sebuah acara pernikahan,
وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ
“Di tengah-tengah kita ada seorang Nabi, yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari.”
Lalu Nabi merespon,
دَعِي هَذِهِ وَقُولِي بِالَّذِي كُنْتِ تَقُولِينَ
“Tinggalkanlah ungkapan ini, dan katakanlah apa yang ingin kamu katakan.” (HR. Bukhari 7/19)
Kemudian pengingkaran Nabi kepada si arab badui yang kencing di masjid Nabawi. Beliau mengingkari dengan penuh kelembutan dan sarat dengan nilai mendidik. Beliau menegur para sahabat yang sudah terpancing emosi,
لَا تُزْرِمُوهُ دَعُوهُ
“Jangan hentikan kencingnya, biarkan dia sampai selesai.”
Setelah selesai buang hajat, Nabi memanggilnya lalu menyampaian nasehat dengan lembut,
إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya masjid ini tidak layak dari kencing ini dan tidak pula kotoran tersebut. Ia hanya untuk berdzikir kepada Allah, shalat, dan membaca al-Qur’an.” (HR. Bukhari 8/12).
Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa Nabi mengingkari berbagai kemungkaran dengan menjelaskan hukumnya dengan penuh kelembutan, tanpa sedikitpun menyalahkan.
Kedua, nasehat dengan lembut.
Yaitu mengingatkan objek untuk kembali kebenaran disertai dengan cara-cara yang bisa menjadikan hati terbuka menerima wejangan (‘Al-‘ain, karya Al-Khalil 2/2228).
Diantara contoh yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, dalam kisah Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallahu’anhu, bahwa Abu Mas’ud pernah memukul seorang budak dengan cambuk. Lalu Nabi melihat peristiwa tersebut, lantas beliau menegur,
اعلم أبا مسعود أن الله أقدر عليك على هذا الغلام
“Ketahuilah ya Abu Mas’ud, Allah maha kuasa untuk membela budak ini atas cambukanmu itu!”
Mendengar teguran Nabi ini Abu Mas’ud kemudian merespon dengan penuh tekad,
لا أضرب مملوكا بعده أبدا
“Aku tak lagi memukul budak selamanya.”
Ketiga, melarang dengan ucapan yang tegas.
Tahapan ini ditempuh bila mengingkari dengan lisan yang lembut tidak mendapatkan respon yang baik. Karena memang sebagian orang itu tidak bisa menerima nasehat kecuali harus ditegasi terlebih dahulu. Maka dalam mengingkari kemungkaran silahkan menggunakan metode yang paling bisa diterima oleh pelaku kemungkaran.
Diantara contohnya adalah ucapan Nabi Ibarahim ‘alaihis salam kepada kaumnya,
أُفٍّ لَّكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ ۖ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Ah apa-apaan sih kalian ini! Celaka kalian dan sesembehan yang kalian sembah selain Allah. Tidakkah kalian itu berfikir?” (QS. Al-Anbiya: 67)
Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu ‘anhu-,
أن نبي الله صلى الله عليه وسلم رأى رجلا يَسُوقُ بَدَنَةً، فقال: اركبها، قال: إنها بَدَنَةٌ، قال اركبها، فرأيته رَاكِبَهَا، يُسَايِرُ النبي صلى الله عليه وسلم ».
Bahwa Nabiyullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- pernah melihat seorang lelaki menggiring unta. Beliau bersabda, “Tunggangilah!”
Orang itu berkata, “Unta ini Budnah (unta yang digemukkan untuk kurban).”
Beliau bersabda, “Tunggangilah!”
Selanjutnya aku lihat orang itu menungganginya mengiringi Nabi Muhammad -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-. “Dalam redaksi lain disebutkan, “Beliau bersabda untuk kedua atau ketiga kalinya, “Tunggangilah! Celakalah kamu.“
Keempat, melarang dengan disertai ancaman dan peringatan.
Tahapan ini ditempuh jika dengan tahapan sebelumnya tidak juga merubah seseorang. Mengingkari dengan lisan dengan cara ini adalah tahapan yang paling tegas dan paling akhir.
Contoh yang dilakukan Nabi adalah, kisah Nabi mengancamkan akan membakar rumah orang-orang yang tidak ikut shalar jamaah.
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ
“Aku sangat berkeinginan agar shalat ditegakkan, lalu aku perintahkan seorang laki-laki shalat bersama manusia, sedangkan aku bersama beberapa laki-laki pergi membawa kayu bakar menuju orang-orang yang tidak ikut shalat berjama’ah, hingga aku dapat membakar rumah mereka.” (HR. Ibnu Majah 783).
Wallahul muwaffiq…
*** Makalah ini adalah bahan materi kuliah umum Rumaysho Academy yang diselenggarakan secara live streaming setiap Rabu sore (Maghrib-Isya), dinarasumberi oleh Ustadz Ahmad Anshori, Lc -hafidzohullah-.
Referensi:
Ar-Ruhaili, Ibrahim bin Amir. Manhaj Ahlissunnah fil Amri bil’ma’ruf nah Nahyi ‘anil Munkar.
Penulis: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com